“RIBA”
Makalah ini Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hadits
III
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
YUSUF AL-JANNAH
2113428004
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TADRIS
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2013
PENDAHULUAN
Memahami
fiqh mu’amalah sebagai tata aturan islam
yang berkenaan dengan hubungan antarmanusia ini sangatlah penting. Sebab, di
era globalisasi saat ini interaksi antarbangsa, baik secara individual maupun
publik, senantiasa mendasarkan satu hubungan pada suatu landasan hukum tertentu
yang sangat dipengaruhi oleh system hukum tertentu misalnya masalah riba.
Riba
merupakan sesuatu hal yang dilarang oleh Allah untuk melakukannya karena riba
tidak berdasarkan dengan syari’at islam. Oleh karena itu makalah ini dibuat
bertujuan untuk dijadikan sebagai rujukan atau peringatan kepada para pembaca
agar mengantisipasi tidak melakukan hal yang ada hubungannya dengan riba.
Mungkin dalam makalah ini akan dijelaskan apa pengertian riba,
macam-macamnya, hukumnya dan lain sebagainya walaupun tidak begitu rinci tetapi
mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk semuanya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Riba
Menurut bahasa Riba memiliki beberapa pengertian,yaitu :
الزيادةyang berarti bertambah, karena salah satu perbuatan riba
adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan. yang berarti berkembang atu berbunga,
karena salah datu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang
lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Berlebihan atau menggelembung, yang
berasal dari firman Allah SWT :
ôN¨”tI÷d$#ôMtu‘ur
Artinya : “Hiduplah
bumi itu dan suburlah” (Q.S al-Hajj : 5)
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud
dengan riba menurut al-Mali ialah:
عقد واقع على عوض مخصوص غير معلوم التماثل فى
معيارالشرع حالة العقد أومع تأخيرفى البدلين او احدهما
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu
yang tidak diketahui penimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau
dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.”[1]
Adapun
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip mu’amalah dalam islam.[2]
B. Hukum Riba
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena
mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah Menghalalkan jual
beli dan Mengharamkan riba[3].Berdasarkan
pernyataan diatas, Allah telah terang-terangan mengharamkan riba dan
menghalalkan jual beli untuk umat-Nya. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT :
$yg•ƒr'¯»tƒ #لَّذ šúïÏ $ (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qtÌh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ҕB (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
( Al- Imran : 130)
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qtÌh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ ”Ï%©!$# çmäܬ6y‚tFtƒ ß`»sÜø‹¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìø‹t7ø9$# ã@÷WÏB (#4qtÌh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qtÌh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn§‘ 4‘ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y™ ÿ¼çnãøBr&ur ’n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í‘$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ ß,ysôJtƒ ª!$# (#4qtÌh9$# ‘Îöãƒur ÏM»s%y‰¢Á9$# 3 ª!$#ur Ÿw =Åsム¨@ä. A‘$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa(276).” (QS. Al-Baqarah : 275 dan 276)
SabdaNabi
عن جابر لعن رسول الله صلي الله عليه وسلم اّ
كل الربا وموكله وكا تبه وشاهديهز (رواه مسلم)
“Dari Jabir,
Rasulullah SAW, telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya,
penulisnya, dan dua saksinya”. (HR. Muslim)[4]
C.
Macam- macam Riba
Secara Garis Besar Riba dikelompokkan
menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun
kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah
1.
Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh)[5]. Yang dimaksud dengan riba al qardh dapat dicontohkan dengan
meminjamkan uang seratus ribu lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika
pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi atau pun jasa. Ini semua adalah
riba dan pada hakekatnya bukan termasuk mengutangi. Karena yang namanya
mengutangi adalah dalam rangka tolong menolong dan berbuat baik. Jadi
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, jika bentuk
utang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan, itu sama saja dengan
menukar dirham dengan dirham atau rupiah dengan rupiah kemudian keuntungannya
ditunda[6].
2.
Riba
Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan[7]. Tafsir Qurtuby menjelaskan : “Pada zaman Jahiliyyah para
kreditur, apabila sudah jatuh tempo akan berkata kepada debitur; “Lunaskan
utang Anda sekarang, atau Anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka
pihak debitur membayar tambahan dan kreditur menunggu waktu pembayaran yang
baru”. Dalam
perbankan konvensional, riba jahilliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga
pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya[8].
3.
Riba Fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi[9].
Berikut contoh mengenai riba fadl dengan ketidak jelasannya:
Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, harta mereka diambil
sebagai harta rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya perhiasan yang
berupa emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya seorang
muslimin dan muslimah yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha
membeli perhiasannya yanng terbuat dari emas dan perak tersebut, yang akan
dibayar dengan menggunakan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan perak
(dirham). Jadi apabila ditelaah hal ini bukan bentuk kegiatan jual beli
melainkan pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukarkan dengan emas dan perak
juga sebaliknya.
Perhiasan perak yang beratnya setara dengan 40 dirham (satu uqiyah)
dijual oleh kaum Muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga dirham,
padahal perhiasan tersebut dengan berat satu uqiyah dan jauh lebih daripada 2-3
dirham. Jadi berdasarkan ilustrasi diatas dapat dikonklusikan bahwa mengalami
ketidak jelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan dirham.
Dapat disimpulkan bahwa untuk riba fadl pertukaran barang yang
tidak sama kualitas dan takarannya untuk barang yang sejenis berupa emas,
perak, gandum, tepung, kurma, dan garam, tidak bagus dilakukan karena hal ini
takutnya akan menimbulkan riba. Tetapi apabila pertukarannya berupa objek yang
tidak sejenis meski jumlahnya berbeda hal ini diperbolehkan karena hal ini
berupa tindakan jual beli (bukan riba) asalkan dilakukan secara langsung dari
tangan ke tangan (tunai).
Kemudian dalam praktik perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam
transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan tunai (spot).
Karena pertukaran valuta asing akan berupa uang
(kertas), kertas ditukarkan dengan kertas (secara tunai), tetapi nilai
pertukarannya berbeda. Misal 1 USD ditukarkan dengan Rp 9.084, hal yang
demikian merupakan riba[10].
4.
Riba Nasi’ah
Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan perubahan, tambahan
antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian[11].
Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah
dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito,
tabungan, giro, dan lain-lain. Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman
mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih
dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Padahal nasabah yang
mendapatkan pinjaman itu tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and
predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas,
atau untung yang tidak dapat ditentukan dari awal. Jadi, mengenakan tingkat
bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak
pasti, dan hal ini diharamkan[12].
D.
Hikmah Dilarangnya Riba
Diantara hikmah dilarangnya riba adalah :
1. Untuk menutup pintu kejahatan,
2. Untuk menghindari dampak inflatoir yang diakibatkan
oleh bunga sebagai biaya uang yang mana hal tersebut akan menimbulkan
kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia,[13][13] Sebagai bentuk
rasa syukur atas rizki yang diberikan oleh Allah SWT.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwasannya pengertian riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
mu’amalah dalam islam.
Hukum riba sebagaimana dijelaskan di atas hukumnya
haram. Allah telah terang-terangan mengharamkan riba dan
menghalalkan jual beli untuk umat-Nya.Macam-macam riba ada empat, yaitu riba
qardh, riba, jahiliyyah, fadhl, dan nasi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Anthonio Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik.
Jakarta: GemaInsani, 2001.
http://ariefsz.blogspot.com/2011/04/pengertian-bank-dan-jenisnya.html diakses pada tanggal 17 Nopember 2013
http://gpares.blogspot.com/2012/04/riba-dan-jenis-jenisnya.html diakses pada tanggal 17 Nopember 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank diakses pada tanggal 17
Nopember 2013
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/perbedaan-riba-dan-bunga-bank-dalam-agama-islam/ diakses tanggal 17 Nopember 2013 WIB
http://www.facebook.com/note.php?note_id=195797963801957 diakses tanggal 17 Nopember 2013
Mufti Aries, Amanah bagi Bangsa. Jakarta: Masyarakat Ekonomi
Syari’ah, 2007.
Rasjid Sulaiman,Fiqh Islam. Bandung: SinarBaruAlgensindo, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008.
[1]Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), hal.57-58
[2]
Muhammad Syafi’iAnthonio, Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.37
[3]http://gpares.blogspot.com/2012/04/riba-dan-jenis-jenisnya.html diakses pada tanggal 17 Nopember 2013
[4]Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2008), hal 292-293
[5]Muhammad Syafi’iAnthonio, Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.41
[7]Muhammad Syafi’iAnthonio,Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.41
[8]http://gpares.blogspot.com/2012/04/riba-dan-jenis-jenisnya.html diakses pada tanggal 17 Nopember 2013
[9]Muhammad Syafi’i Anthonio,Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.41
[10]http://gpares.blogspot.com/2012/04/riba-dan-jenis-jenisnya.html diakses pada tanggal 17 Nopember 2013
[11]Muhammad Syafi’iAnthonio,Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.41
[12]http://gpares.blogspot.com/2012/04/riba-dan-jenis-jenisnya.html diakses pada tanggal 17 Nopember 2013
[13]Muhammad Syafi’iAnthonio,Bank Syari’ah dari Teori
ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.67