PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang musik tidak dapat dipisahkan dari masyarakat,
apalagi dengan kaum muda yang mengatakan bahwa diri mereka mental. Dari musik
yang berjenis pop, rock, jazz, dangdut, rege, dan masih banyak lagi jenis musik
yang ada ditengah-tengah kita. Dalam perkebangan sekarang banyak musik yang
ditampilkan dimedia TV,Radio, dan lain sebagainya. Namum manyoritas musik yang
beredar pada saat ini adalah musik yang beralirkan bukan Islami, yang mana
banyak musik yang mendatangkan syahwat bagi para pendengarnya. Sedangkan musik
yang beralirkan Islam hanya dijadikan musik untuk menyambut bulan Ramadhon
saja.
Karena hal diatas, banyak sekali generasi muda yang terpengaruh dan
mengikuti gaya para penyanyi yang mereka gemari dan idolakan. Dan hasilnya
banyak kaum muda yang melupakan akan nilai-nilai agama. Karena itulah sekarang
adalah maa teransisi hilangnya nilai kesopanan yang mana dulu sangat
dibanggakan oleh orang tua kita.
Dan bagaimana pandangan islam terhadap musik yang ada pada sekarang
ini?. Apakah musik haran atau alaluntuk diperdengarkan dan dipertontonkan?.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai hat tersebut.
PEMBAHASAN
A.
Musik adalah Seni.
Musik dan
bernyanyi merupakan bagian dari seni, kaarena ha tersebut kita harus lebih
dahulu mengetahui apa yang dimaksut dengan seni yang sesungguhnya. Dalam KBBI
seni dapat diartikana : keahlian membuat karya yg bermutu (dilihat dr segi
kehalusannya, keindahannya, dsb); karya
yg diciptakan dng keahlian yg luar biasa, spt tari, lukisan, ukiran; seniman tari sering
juga menciptakan -- susastra yg indah[1].
Dalam ensklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan
dengan perantara alat komunikasi kedalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra
pendengar (seni suara), indra penglihat (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantara gerak (seni tari dan drama)[2].
Seni musik dapat kita artikan sebagai seni yang berhububungan dengan alat musik
dan irama yan keluar dari alat-alat tersebut. Dan seni musik membahas mengenai
not, intrumen, dan aliran-aliran musik. Sedangkan seni vokal adalah seni yang
diungkapkan hanya dengan perantara suara tanpa adanya iringan intrument musik,
namun dapat juga digabungkan dengan alat musik tunggal.
Dari penjelasan dan beberapa definisi mengenai seni,
dapat kita tarik kesimpulan bahwa ada 4 hukum fiqih berkaitan dengan musik ini,
antara lain :
·
Hukum bernyanyi.
·
Hukum mendengarkan nyanyian.
·
Hukum memainkan alat musik.
·
Hukum mendengarkan musik.
B.
Hukum bernyanyi.
Dalam menetapkan hukum bernyayi
ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukumnya. Ada sebagian ulama
yang mengharamkan dan ada sebagian ulama yang membolehkannya. Yang mana disemua
pendapat tersebut memuat penjelasan yang sama-sama kuat[3].
1.
Dalil yang
mnyatakan bahwa bernyanyi haram hukumnya.
Para ulama yang menyatakan bahwa
hukum bernyanyi haram, mereka mengacu kepada firman Allah Qs. Luqmân:
6 yang berbunyi :
z`ÏBur
Ĩ$¨Z9$#
`tB
ÎtIô±t
uqôgs9
Ï]Ïysø9$#
¨@ÅÒãÏ9
`tã
È@Î6y
«!$#
ÎötóÎ/
5Où=Ïæ
$ydxÏGtur
#·râèd
4
y7Í´¯»s9'ré&
öNçlm;
Ò>#xtã
×ûüÎgB
ÇÏÈ
Artinya : “Dan di antara manusia ada orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân :
6)
Dari ayat ini al-Qurthubi, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud
menafsirkan kata lahwal hadits dengan nyanyian, musik ataupun lagu. Dan
ada beberapa ayat lain yag dijadikan dalil sebagai pengharaman nyanyian :
øÌøÿtFó$#ur
Ç`tB
|M÷èsÜtGó$#
Nåk÷]ÏB
y7Ï?öq|ÁÎ/
ó=Î=ô_r&ur
NÍkön=tã
y7Î=øs¿2
Î=Å`uur
óOßgø.Í$x©ur
Îû
ÉAºuqøBF{$#
Ï»s9÷rF{$#ur
öNèdôÏãur
4
$tBur
ãNèdßÏèt
ß`»sÜø¤±9$#
wÎ)
#·rãäî
ÇÏÍÈ
“Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki
dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah
mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan
tipuan belaka[4]” Qs.
al-Isrâ’ [17]: 64
Dan hadits yang mengharamkan nyanyia antara lain:
حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ يَعْقُوبَ الْكُوفِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْقُدُّوسِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ هِلَالِ
بْنِ يَسَافٍ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَتَى ذَاكَ قَالَ إِذَا ظَهَرَتْ الْقَيْنَاتُ
وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتْ الْخُمُورُ قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلٌ وَهَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ
(TIRMIDZI - 2138) : Telah menceritakan kepada kami
'Abbad bin Ya'qub Al Kufi telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdul
Quddus telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Hilal bin Yasaf dari
'Imran bin Hushain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Akan
terjadi pada ummat ini bencana longsor, digantinya rupanya dan angin ribut yang
menghempaskan manusia, " bertanyalah seseorang dari kaum muslimin: Wahai
Rasulullah, kapan itu terjadi? beliau menjawab: "Apabila bermunculan para
wanita penyanyi dan alat alat musik dan orang meminum minuman khamar." Abu
Isa berkata: Hadits ini diriwayatkan dari Al A'masy dari Abdurrahman bin Tsabit
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam secara mursal dan hadits ini gharib.
2. Dalil yang
menghalalkan nyanyian.
Para ulama yang menghalalkan bernyanyi menggunakan
dalil Qs. al-Mâ’idah 87, yang berbunyi :
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
w
(#qãBÌhptéB
ÏM»t6ÍhsÛ
!$tB
¨@ymr&
ª!$#
öNä3s9
wur
(#ÿrßtG÷ès?
4
cÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏtF÷èßJø9$#
ÇÑÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”.
selain ayat yang diatas, para ulama
juga menggunakan hadits sebagai penguatnya yang mana dalam kitab sunan tirmidzi
:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ جَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيَّ غَدَاةَ بُنِيَ
بِي فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ
بِدُفُوفِهِنَّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِلَى أَنْ قَالَتْ
إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْكُتِي عَنْ هَذِهِ وَقُولِي الَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
قَبْلَهَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ[5]
(TIRMIDZI - 1010) : Telah
menceritakan kepada kami Humaid bin Mas'adah Al Bashri, telah menceritakan
kepada kami Bisyr bin Al Mufadlal, telah menceritakan kepada kami Khalid bin
Dzakwan dari Ar Rubai' binti Mu'awwidz berkata; "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada
tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku. Anak-anak perempuan kami
memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada
Perang Badar. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair); 'Di
antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui hari esok hari'." Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berhentilah (diamlah) dari ucapan
itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapakan tadi." Abu Isa berkata;
"Ini merupakan hadits hasan sahih."
C.
Hukum mendengarkan nyayian.
Hukum
menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang
ada perbedaan antara melantunkan lagu/benyanyi (at-taghanni bi al-ghina’)
dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk
dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan
hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan
lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl
jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari
penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki,
menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan
yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah,
kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan: Al-ashlu fi
al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah,
adalah mubah”. Maka dari itu, melihat sebagai perbuatan jibiliyyah hukum
asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh,
apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya.
Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab
melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil
khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka
pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian
pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah,
sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah
suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia
termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika
suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya
mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan
tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya
akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar
perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita
berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita
diharamkan mendiamkannya.
Demikian
pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah,
bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah
yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung
kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf
nahi munkar.
Berbeda lagi
dengan mendengarkan musik secara interaktif[6]
( istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada
perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’).
Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada
interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan
istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada
tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang
penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan
nyanyian sang penyanyi[7].
Jadi kalau
mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah,
sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan
jibiliyyah. Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan
nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian
tersebut. Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’
al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang
melingkupinya haram karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka
aktivitasnya itu adalah haram[8].
Allah SWT berfirman:
xsù.... (#rßãèø)s?
óOßgyètB
4Ó®Lym
(#qàÊqès
Îû
B]Ïtn
ÿ¾ÍnÎöxî
4
....
ÇÊÍÉÈ
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih
pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
xsù.... ôãèø)s?
y֏t/
3tò2Éj9$#
yìtB
ÏQöqs)ø9$#
tûüÏHÍ>»©à9$#
ÇÏÑÈ
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah
(mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
D.
Hukum
memainkan alat musik.
Bagaimanakah
hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya?
Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang
dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal,
atau rebana. Sabda Nabi Saw: “Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya
rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah). Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal,
maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang
menghalalkan. Namun menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang
mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya,
seluruhnya dha’if. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59
mengatakan: “Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang
sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan
memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh
secara mutlak.”[9]
Kesimpulannya,
memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika
ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik
tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada
hukum asalnya, yaitu mubah.
E.
Hukum
mendengarkan Musik[10].
Sebagaimana
yang telajh dijelaskan diawal tadi, bahwa musik dan bernyanyi memiliki
perbedaan. Mendengarkan nyanyian dan musik tidak dapat disamakan, karena
didalamnya memeiliki unsur yang berbeda. Dan mendengarkan musik dapat melalui
beberapa cara :
1. Mendengarkan
Musik Secara Langsung (Live).
Pada
dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara
langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan
semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif.
Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran
dalam pelaksanaannya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan
aurat, maka hukumnya haram. Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
maka hukumnya adalah mubah[11].
2.
Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan
Semisalnya
Menurut Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan
semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti
show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah),
bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’)
dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya yaitu mubah.
Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal
pemanfaatan benda menyebutkan: Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid
dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak
terdapat dalil yang mengharamkannya”[12].
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram,
bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan
dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan: Al-wasilah ila
al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya
haram juga”.
F.
Nyanyian dan
musik Islami
Setelah
berbagai hukum dijabarkan seperti di atas, maka didapat suatu pedoman umum
tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan
operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan
musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan,
hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami)[13]:
1.
Musisi/Penyanyi
a)
Bertujuan menghibur dan
menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan,
kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak
mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas,
menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b)
Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar
(meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas
kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya,
mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan
sejenisnya.
c)
Tidak menyalahi ketentuan syara’,
seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan,
bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau
asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris
pria. Ini semua haram.
2.
Instrumen/Alat Musik
a)
Dengan memperhatikan instrumen atau
alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan
bentuk dan sifat adalah Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya.
Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b)
Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar
dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non
muslim. Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung
maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3.
Sya’ir
Dalam musik
yang bernuansa Islami, dalam sya’irnya harus memuat beberapa kriteria sebagai
berikut :
·
Amar ma’ruf (menuntut keadilan,
perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman,
memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
·
Memuji Allah, Rasul-Nya dan
ciptaan-Nya.
·
Berisi ‘ibrah dan menggugah
kesadaran manusia.
·
Tidak menggunakan ungkapan yang
dicela oleh agama.
·
Hal-hal mubah yang tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4.
Waktu Dan Tempat
·
Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu
sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan
rizki, dan sebagainya.
·
Tidak melalaikan atau menyita waktu
beribadah (yang wajib).
·
Tidak mengganggu orang lain (baik
dari segi waktu maupun tempat).
·
Pria dan wanita wajib ditempatkan
terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang panjang lebardi awal tadi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa :
1.
Bernyanyi hukum asalnya adalah mubah
(ibahah), namun apabila didalamnya terdapat unsur maksiat maka hukumnya akan
haram.
2.
Dalam memilih musik harus
memperhatikan bebeapa unsur sebagai berikut :
a.
Penyanyi
b.
Instrumen
c.
Sya’ir
d.
Tempat dan waktu
3.
Memainkan alat musik hukum asalnya
adalah mubah, kecuali ada unsur yang menyebabkabnya menjadi haram. Maka hukum
memainkannya menjadi haran.
B.
Kritik dan
Saran
Pastinya
dalam pembuatan makalah ini masik terdapat kesalahan, baik dalam segi
penulisan, susunan kata, dan sistematika penulisan. Karena itu kami memohon
kritik dan saran dari dosen pengampu dan teman-teman guna perbaikan makalah
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Zyuhdi
masjfuk, 1987, Masail Fiqiyah, CV Haji Masagung, Jakarta
Al-Baghdadi,
Abdurrahman. 1991, Seni Dalam Pandangan Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema
Insani Press.
KBBI ofline. Versi 1.5
Lidwa, pustaka i-sofhwer, kitab sembilan
imam
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/alat-musik-dalam-pandangan-ulama-madzhab-syafii.html,02.00 wib
prof. Dr. Syarabasyi
Ahmad,1987, Himpunan Fatwa, Surabaya, Al-Ikhlas.
Musik Dalam Pandangan Islam
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fikih Kontenporer
Dosen Pengampu: Suwarjin, M.Ag
Disusun Oleh:
Yusuf Al-Jannah
Melzi Agusman
PRODI ILMU
QUR’AN DAN TADRIS
FAKULTAS
USHULUDDIN,ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI BENGKULU
2013
[1] KBBI Ofline Fersi 1.5
[2] Dr.Abdurahman al-Bbaghdadi,Seni Dalam Pandangan Islam, hal.
13
[3] Ibid.
[4] Maksud ayat ini ialah Allah memberi kesempatan
kepada iblis untuk menyesatkan manusia dengan segala kemampuan yang ada
padanya. tetapi segala tipu daya syaitan itu tidak akan mampu menghadapi
orang-orang yang benar-benar beriman.
[5] Lidwa, pustaka i-sofhwer, kitab
sembilan imam
[6] Makna interaktif dalam KBBI adalah a 1 bersifat saling melakukan aksi;
antar-hubungan; saling aktif;
[8] Prof.Dr. Ahmad Syarabasyi,Himpunan Fatwa.hal 574
[10] mu·sik n 1 ilmu atau seni
menyusun nada atau suara dl urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk
menghasilkan komposisi (suara) yg mempunyai kesatuan dan kesinam-bungan; 2
nada atau suara yg disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan
keharmonisan (terutama yg menggunakan alat-alat yg dapat menghasilkan
bunyi-bunyi itu);
[12]
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, hal. 76