Senin, 13 Januari 2014

objek kajian filsafat agama

Pendahuluan
Manusia selalu mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya. Dia tidak pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab. hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana benda-benda  di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan. Kita dipaksa untuk bertanya “Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan system yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?”
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan kedalam sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafat, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Subjek filsafat adalah seseorang yang berfikir atau memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Seperti halnya pengetahuan, Maka filsafatpun (sudut pandangannya) ada beberapa objek yang dikaji oleh filsafat. Pada makalah ini saya akan membahas apa yang menjadi objek kajian filsafat dan kajian filsafat agama.











Pembahasan

A.    Objek Kajian Filsafat
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formal adalah cara pandang tertentu tentang objek material tersebut, seperti pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran. Adapun objek filsafat adalah:
a.       Objek material, yaitu segala sesuatu yang ada/ realitas
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filosof ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, jadi luas sekali.
1. Ada yang harus ada, disebut dengan absoluth/ mutlak yaitu Tuhan Pencipta
2. Ada yang tidak harus ada, disebut dengan yang tidak mutlak, ada yang relatif (nisby), bersifat tidak kekal yaitu ada yang diciptakan oleh ada yang mutlak (Tuhan Pencipta alam semesta)
Objek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut objek material, yaitu segala yang ada dan mungkin ada tadi. Tentang objek material ini banyak yang sama dengan objek materi sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki objek material yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris, melainkan bagian yang abstraknya. Kedua, ada objek materi filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek material yang untuk selama-lamanya tidak empiris. Jadi, objek material filsafat tetap saja lebih luas dari objek material sains.[1]
b.      Objek formal/sudut pandang
Selain objek material, adalagi objek formal, yaitu sifat penyelidikan. Objek formal filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Artinya ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu yang sedalam-dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu sampai batas objek itu dan diteliti secara empiris. Jadi, objek penelitian sains ialah pada batas dapat diriset, sedangkan objek penelitian filsafat adalah pada daerah yang tidak dapat diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis. Jadi sains menyelidiki dengan riset, filsafat meneliti dengan memikirkannya.[2]
Filsafat itu dapat dikatakan bersifat non-pragmentaris, karena filsafat mencari pengertian realitas secara luas dan mendalam. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh pengalaman-pengalaman manusia dalam semua instansi yaitu etika, estetika, teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lain-lain haruslah dibawa kepada filsafat dalam pengertian realita.
Filsafat mengatasi setiap ilmu, baik dalam hal metode maupun ruang lingkupnya. Objek formal filsafat terarah pada unsur-unsur keumuman yang secara pasti ada pada ilmu-ilmu khusus. Dengan tinjauan yang terarah pada unsur-unsur keumuman itu, maka filsafat berusaha mencari hubungan-hubungan di antara bidang-bidang ilmu yang bersangkutan.
Permasalahan filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris. Ide dasar mencakup pelbagai keyakinan dan teori yang kita pegang dengan sadar, pelbagai konsekuensi dan asumsi keyakinan yang dipercayai begitu saja serta berbagai konsep yang berdiri sendiri. Sifatnya umum (general) dan pervasive (luas).
Menurut Ir. Poedjawijatna, objek materi filsafat adalah ada dan yang mungkin ada. Objek materi filsafat tersebut sama dengan objek materi dari ilmu seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lainnya adalah objek formanya, sehingga kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada yang berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi diri, filsafat hendak mencari keterangan sedalam-dalamnya, inilah objek formal filsafat[3].
Berpikir filsafat memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lain. Beberapa cirri berpikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut;
1.      Radikal, artinya berpikir sampai keakar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2.      Universal, pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
3.      Konseptual, merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya: Apakah seni itu? Apakah keindahan itu?
4.      Koheren dan konsisten. Sesuai dengan kaidah dan tidak mengandung kontradiksi.
5.      Sistematik. Pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6.      Komprehensif. Menyeluruh, berpikir kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7.      Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafat boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka social, historis, cultural, bahkan religious.
8.      Bertanggung jawab. Seorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Kedelapan ciri berpikir filsafat ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dari cirri berpikir ilmu-ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang keilmuan yang netral terutama ciri ketujuh[4].
Filsafat agama merupakan filsafa khusus karena objek khusus yang dibahas terletak pada kata sesudah filsafat tersebut. Filsafat agama membahas segala hal yang berkaitan dengan agama, pendapat yang menyetujui dan menolaknya.
Ditinjau dari segi objek material filsafat, agama adalah objek dalam dimensi metafisik dan fisik. Sedangkan ditinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, objektif, bebas, dan radikal tentang ajaran-ajaran pokok agama. Yang dimaksud pendekatan yang menyeluruh adalah usaha untuk menjelaskan pokok-pokok ajaran agama secara umum, tidak mengenai ajaran agama tertentu saja.
Agama tidak dibahas secara parsial dan terpilah-pilah, tetapi mencakup semuua pikiran dan ajaran. Contohnya pembahasan mengenai Tuhan, tidak saja dikemukakan pendapat yang mendukung adanya Tuhan, tetapi pendapat yang meragukan-Nya juga, bahkan pendapat yang menolak-Nya. Dan Tuhan yang dibahas tidak hanya Tuhan agama Yahudi, Kristen atau Islam saja, tetapi Tuhan semua agama.
Dasar-dasar agama akan dibahas meliputi wahyu, pengiriman rasul dan nabi, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan (merdeka atau terikat dengan kehendak Tuhan), soal kejahatan, soal hidup kedua sesudah hidup di dunia dan sebagainya[5].
Pendekatan objektif perlu dalam filsafat agama karena pada dasarnya aspek subjektivitas pada agama sangat kuat. Apalagi mayoritas pembahas filsafat agama adalah orang-orang yang telah menganut agama tertentu. Karena itu, pembahasan filsafat agama perlu ditekankan pada segi objektivitas,kendati tidak dinafikan sama sekali masuknya unsur subjektivitas tadi. Namun, dalam pembahasan dasar agama yang bersifat umum diusahakan seobjektif mungkin[6].
Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam faham keagamaan. Tiap-tiap agama kecuali Budhisme yang asli dan beberapa agama lain berdasar atas kepercayaan pada kekuatan ghaib, dan cara hidup tiap-tiap manusia yang percaya pada agama di dunia ini amat rapat hubungannya denngan kepercayaan tersebut. Oleh sebab itu filsafat agama merasa amat penting untuk mempelajari perkembangan paham-paham yang berbeda itu.
Filsafat agama juga membahas problematika eskatologi[7] dari aspek keadilan dan kehendak mutlak Tuhan. Perdebatan-perdebatan antar kelompok tentang hal itu. Pembahasan dalam filsafat ini tidak bermaksud untuk menyelesaikan secara tuntas masalah eskatologi tersebut, karena penyelesaian yang diajukan tentu tidak akan memuaskan semua pihak. Oleh sebab itu, titik tekan pembahasan filsafat agama adalah mengungkap argument-argumen yang mereka kemukakan dan sekaligus menilai kelogisan argument mereka.
B.     Manfaat Belajar Filsafat
            Manfaat belajar filsafat:
Secara garis besar..manfaat belajar filsafat adalah sebagai berikut:
1.      Filsafat membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti apa adanya.
2.      Filsafat membantu kita mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita
3.      Filsafat membuat kita lebih kritis
4.      Filsafat mengembangkan kemampuan kita dalam:
·         Menalar secara jelas
·         Membedakan argumen yang baik dan yang buruk
·         Menyampaikan pendapat secara jelas
·         Melihat sesuatu melalui kacamata yang lebih luas
·         Melihat dan mempertimbangkan pendapat dan pandangan yang berbeda.
5.      Filsafat dapat memberi bekal dan kemampulan pada kita untuk memperhatikan cara pandangan kita sendiri dan pandangan orang lain dengan kritis
6.      Sebagai sarana berpijak bagi kegiatan keilmuan (menurut pemikiran Will Durant: “dapat diibaratkan sebagai pasukan mariner yang merebut pantai untuk tempat pendaratan pasukan infanteri)[8]
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus.  Jadi filsafat membantu untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang realitas (filsafat teoritis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari luar jalur secara sistematik dan secara historis.
Pertama secara sistematis. Artinya filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab, dan keadilan dan sebagainya.
Jalur kedua melalui jalur sejarah filsafat. Di situ orang belajar untuk mendalami, menanggapi, serta belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filosof terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemampuan ini memberikan sekurang-kurangnya tiga kemampuan yang memang sangat dibutuhkan oleh segenap orang yang dizaman sekarang harus atau mau memberikan pengarahan, bimbingan, dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat:
1.      Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia paling hakiki, serta mendalami jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir besar umat manusia, wawasan dan pengertian kita sendiri diperluas.
2.      Kemampuan untuk menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi, pendapat-pendapat, tuntutan-tuntutan, dan legitimasi-legitimasi dari pelbagai ajaran agama, ideologi dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat selalu juga merupakan kritik ideologi.
3.      Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam serta kritis dalam menjalani studi-studi di ilmu-ilmu khusus, termasuk teologi.
Dapat dikatakan bahwa filsafat sangat diperlukan oleh profesi-profesi seperti pendidik, pengarang, dan penerbit, budayawan, sosiolog, psikolog, ilmuwan politik, agamawan, termasuk kiyai, pendeta, pastur,dan teolog.[9]

Kesimpulan

§  Objek materi filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada. Objek materi filsafat tersebut sama dengan objek materi ilmu seluruhnya.
§  Yang menentukan perbedaan dengan yang lainnya adalah objek formalnya, sehingga, kalau ilmu membatasi diri, filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah objek formal filsafat.
§  Manfaat mempelajari filsafat adalah sebagai pembimbing, pelatih berpikir serius, menjadi pribadi yang mentaati Tuhan.






















Daftar Pustaka

                       
Ahmad tafsir, Filsafat Umum, (2000, PT Remaja Rosdakarya: Bandung)
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (2012, PT Raja Grafindo:Jakarta)
Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, (2010, PT Raja Grafindo: Jakarta)
Harun Nasution, Filsafat Agama. (1973, Bulan Bintang:Jakarta)
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer. (2007, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta)




[1] Ahmad tafsir, Filsafat Umum, (2000, PT Remaja Rosdakarya: Bandung), hlm 21
[2] Ibid, hlm 22                                                                                                                        
[3] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, (2010, PT Raja Grafindo: Jakarta) hlm 9             
[4] http://medialogika.org/kajian-ilmiah/pengertian-filsafat-ciri-ciri-berpikir-kefilsafatan/, diakses pada 5-01-2014 09:58 WIB                                                                                                                        
[5] Harun Nasution, Filsafat Agama. (1973, Bulan Bintang:Jakarta), hlm 4                  
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (2012, PT Raja Grafindo:Jakarta), hlm 3              
[7] Adalah bagian dari teologi dan filsafat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada masa depan dalam sejarah dunia, atau nasib akhir dari seluruh umat manusia, yang biasa dirujuk sebagai kiamat (akhir zaman). Dalam mistisme, ungkapan ini merujuk secara metaforis kepada akhir dari realitas biasa dan kesatuan kembali pada Yang Ilahi.
[8] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer. (2007, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta), hlm 22                                                                                                                             
[9] http://nasrudinfahmi.blogspot.com/2010/09/manfaat-belajar-filsafat.html, diakses pada 5-01-2014 10:35 WIB