Minggu, 06 Maret 2016

Sejarah perkembangan pemikiran bidang sastra abad 19 sampai kontenporer



Pendahuluan

Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampe hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tampa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas diselaput telinga kita tapi apa sih sesungguhnya sastra itu?
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Dalam sebuah buku yang berjudul metodestudi Islam, dikatakan bahwa ketika ita membicarkan mengenai estetika Islam maka kita harus melihat dari dua bidang. Pertama bdang sastra dan kedua bidang arsitek. Dalam makalah ini kita akan membahas mengenai perkembangan sastra Islam Indonesia pada abad ke-19 sampai kontenporer.













Pembahasan
A.    Perkembangan sastra Islama Indonesia abad ke 19
Islam menurut catatan di China telah bertapak di Sumatera sejak 674 M, dengan bukti surat perjanjian negara Cina dengan negara Ta Shi yang diduga adalah perkampungan para saudagar Arab. Bahasa Melayu selalu dikaitkan dengan Islam sejak diperkenalkan di Asia Tenggara, hingga anggapan bahwa seorang berbahasa Melayu adalah Muslim bukan hal aneh lagi.
Pembicaraan tentang sastra Melayu klasik biasanya dimulai pada abad 17 M. Tokoh pertama masa ini adalah Nuruddin Ar-Raniri yang berasal dari Ranir, India, ia menetap di Aceh pada tahun 1637-1644. ia adalah seorang yang luas pengetahuannya tentang naskah Arab-Persia, ia menulis buku berbahasa Melayu yang terkesan aneh seperti Shirat Mustaqim dan Bustan As-Salathin. Ia berseberangan ide dengan Syamsuddin Sumatrani (w 1630) dan Hamzah Fansuri yang mengemukakan pendapatnya dalam syair-syairnya seperti Syair Dagang, Syair Burung Pingai.
Bentuk-bentuk prosa yang terkenal pada masa itu adalah cerita, baik cerita asli, saduran, tunggal maupun berbingkai, seperti Hikayat Anbiya, Hikayat Nabi Bercukur, Bayan Budiman.
Masa selanjutnya setelah 3 tokoh diatas dunia sastra melayu mencatat nama-nama seperti Abdul Samad Al-Palembani, penulis Hidayat As-Salikin. Juga Kemas Muhammad bin Ahmad Al-Palembani dan Daud bin Abdullah Al-Patani. Bentuk bentuk sastra pada abad 17-18 adalah berupa sastra kitab, sastra sastra hikayat, sastra tata negara dan sastra sufi yang kemudian tidak berkembang, dan bahkan mati.
Pada abad 19 dan 20 sastra Melayu berperan penting dalam dunia politik, tema-tema atas kecaman penjajahan sangatlah dikenal. Novel-novel seperti Setia Asyik kepada Masyuknya dan Shafik Afandi dan Faridah Hanom karya Syaikh Ahmad Al-Hadi, adalah kecaman terhadap moral anak-anak bangsa yang terpengaruh terhadap kultur penjajah. Juga novel karya Ahmad Rasyid Jalu, Iakah Salma (1928 M).
Di Indonesia tema-tema Islam kurang mendapat perhatian, menurut mereka pengalaman agama adalah hal pribadi, kecuali mungkin terhadap Amir Hamzah (1911-1956 M) dan Hamka (1908-1981). Amir Hamzah menggemakan puisi-puisi ala Hamzah Fansuri yang terjebak antara tradisi dan modernitas, karyanya seperti Njanji Soenyi (1937 M), Boeah Rindoe (1941). Sedangkan Hamka, selain terkenal sebagai sastrawan ia juga diakui sebagi ilmuwan, Hamka lebih menyuarakan agama, karyanya seperti Dibawah Lindungan Ka’bah (1938 M), Merantau Ke Deli (1939 M), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Pada masa kemerdekaan sastra Islam mendapat peluang untuk memperlihatkan perannya, tapi karena dituduh tidak mendukung usaha pembentukan budaya ala Sukarno sastra Islampun semakin dipinggirkan, puncaknya pada tuduhan terhadap Hamka yang dituduh menjiplak karya Manfaluthi yaitu Qissah Majdulin (kisah cinta Mahdalena) untuk karyanya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Padahal sejak masa Raniri tradisi adaptasi karya telah dilakukan.
Pada masa orde baru sekali lagi sastra Islam diberi ruang untuk lebih bergerak, karena pemerintah mencoba mengambil simpati agama untuk melawan Komunis, tapi sastra tetap tidak berhasil menunjukkan dirinya. Bahkan ketika Langit Makin Mendung (1968 M) novel karya Ki Panji Kusmin yang menghebohkan diseret ke pengadilan-karena dituduh melecehkan agama Islam-lagi-lagi para sastrwan muslim tidak bisa menunjukkan buktinya, bahkan mereka menganggap hal seperti itu adalah kebebasan berkarya yang harus dihormati. Sungguh suatu sikap moderat yang terlalu berlebihan.
Pada tahun 1970-an kecendrungan sastra sufistik sangat kental. Yang mana ditandainya karya-karya yang ditulis oleh kuntowijoyo dengan judul khutbah diatas bukit dan Fudoli Zaini dengan judul Arafah.
Meskipun kalah sastra Islam tetap memberikan sumbangan terhadap sastra nasional. Para sastrawan muslim selanjutnya selalu mencoba mengangkat tema-tema Islam seperti Zawawi Imron dengan karyanya Nenek Moyangku, Air Mata (1985 M), Emha Ainun Nadzib dengan Untuk Tuhanku (1983 M), Sutarzo Calzoum Bachri dengan O,Amuk Kapak (1981 M).
B.     Totkoh-tokoh sastra Islam indonesia abad 19-kontenporer
1.      Amir Hamzah (1911-1956 M)[1]
Amir Hamzah  adalah seorang sastrawan  Indonesia  angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu  (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.
Nama lengkap beliau adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera beliau dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, pada tanaggal 28 Februari 1911. Beliau wafat di Begumit, pada tanggal 20 Maret 1946. Belai merupakan angkatan Pujangga Baru, Karya terkenal Buah Rindu.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain:
Nyanyi Sunyi (1937),  Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), Syirul Asyar .
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

2.      Hamka (1908-1981)[2]
Hamka (1908 – 1981) adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik, dan penulis Indonesia yang terkenal di nusantara. Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Belakangan, Hamka mendapat sebutan Buya, panggilan untuk orang Minang yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif, seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid). Di antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.
3.      Ki Panji Kusmin[3]
Pandjikusmin lahir dari keluarga Islam. Nama Kusmin diambil dari nama ayahnya saat kecil, sementara Pandji nama kakeknya dari pihak ibu. Ayahnya menikah lagi dalam pengungsian pada 1945, di Malang. Sejak berumur lima tahun, ia ikut ibu tiri. Ibu tirinya adalah seorang Protestan. Ia disekolahkan di sekolah Kristen di Malang dan oleh ibunya dan dididik sebagai Protestan.
Semasa sekolah dasarnya di Malang, ia sering tak naik kelas. Tingkah lakunya bandel, sehingga ibu tirinya mengirim ke Asrama Katolik Boro di Kulonprogo, Yogya. Selama tiga tahun dia diasuh oleh Pastor Harsosusanto dan Bruder Themoteus. Di sinilah ia kemudian dibaptis menjadi seorang Katolik. Setamat SD di Bruderan Boro, Kulonprogo, ia melanjutkan studi ke SMP Kanisius Salatiga.
Tahun 1956, lulus dari SMP Kanisius, ia pergi ke Semarang. Di Semarang, ia masuk SMA Protestan—yaitu SMA Masehi, tapi ia tetap Katolik. Beberapa bulan kemudian, ayahnya, yang telah menetap di Jakarta, menikah kembali. Ibu tirinya meninggal. Upacara pernikahan secara Islam ini mengetuk hatinya. Penghulu dan doa-doa yang dibaca membuat ia terkenang akan masa kecilnya. Sejak itu, Ki Pandjikusmin memutuskan kembali masuk Islam. Ia meninggalkan SMA Masehi Semarang, lalu akhirnya pindah ke Akademi Pelayaran Nasional. Selama enam tahun ia menjalani wajib dinas di Jakarta.
Setelah heboh cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin ternyata masih mengirim naskah ke Horison. Pada 1970, ia mengirim cerpen berjudul Petasan dalam Sampah. Naskah itu tidak dimuat karena tidak lolos kriteria Taufik Ismail. “Kalau saya jadi redaktur Sastra, Langit Makin Mendung pun tidak saya loloskan. Itu cerpen jelek. Metafora Ki Pandjikusmin sangat sederhana dan kekanakan. Tuhan melayang di atas, memakai kacamata seperti orang tua. Imajinya begitu miskin,” tutur Taufiq kepada Dharmawan Sepriyossa dari TEMPO. Pada 20 Oktober 1971, sang pengarang misterius mengirim cerpen berjudul Dia Tidak Tidur. Yang ini dimuat di Horison edisi Desember 1972. Bila kita tilik alamat suratnya, kini ia berpindah lagi, yaitu Jalan Perhutani I Jalan Rajawali 40 Surabaya. Jadi, semenjak 1967, berdasarkan surat-surat lusuh itu, Ki Pandjikusmin tampaknya telah berpindah empat kali: Jakarta, Probolinggo, Singapura, dan Surabay.
4.      Fudoli Zaini
Namanya memang identik dengan “sastra religius” lantaran sastrawan yang satu ini memang intensif belajar sastra Arab, Sastra Sufi, langsung dari negeri asalnya selama puluhan tahun, dan banyak melahirkan cerpen bernuansa religius. Muhammad Fudoli Zaini adalah salah satu cerpenis kuat yang diakui di negeri ini.
Lahir di Sumenep, 8 Juli 1942, setamat SMA dia singgah sebentar di Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, kemudian masuk IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kemudian melanjutkan studi di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, atas beasiswa universitas tersebut. Mula-mula ia belajar syariah, kemudian belajar sejarah di Institute of Islamic Studies di kota yang sama, lantas belajar Sastra Arab Modern di Institute of Arabic Studies. Namun minat dan keseriusannya kembali lagi menggiringnya ke Universitas Al Azhar, belajar filsafat dan secara khusus belajar Filsafat Tasawuf hingga meraih gelar MA dan PhD dalam bidang tersebut.
Dalam khasanah sastra Indonesia, nama Fudoli sudah banyak berkibar tahun 70-an di majalah sastra ternama Horison, cerpen dan esainya juga menghiasi banyak media massa. Kumpulan cerpennya yang telah dibukukan adalah Lagu dari Jalanan (Balai Pustaka, Jakarta, 1982), Potret Manusia (Balai Pustaka, Jakarta, 1983), Arafah (Pustaka, Bandung, 1985), Kota Kelahiran (Balai Pustaka, Jakarta, 1985), Batu-batu Setan (Pustaka Firdaus, Jakarta 1994), Rindu Ladang Padang Ilalang (Bentang Budaya, Jogjakarta, 2002), sementara beberapa buku kumpulan cerpennya masih menyusul diterbitkan. Dari data ini saja dapat terlihat betapa produktifnya seorang Fudoli, termasuk cerpen-cerpennya yang dimuat di sejumlah antologi, seperti Angkatan 66 oleh HB Yassin, Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi), dari Jodoh Sampai Supijah (Radio Nederland), Cerita Pendek Indonesia (Satyagraha Hoerip), Beyond the Horizon (David T. Hill, Monash University, Australia), Limau Walikota (Surabaya Post) dan banyak lagi, termasuk sejumlah cerpennya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Buku antologi Kota Kelahiran sempat mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai karya fiksi terbaik, sedangkan Suminten mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, 1999. Buku yang mengulas cerpen-cerpennya dengan sangat luas adalah Sastra Indonesia di Madura oleh Kisyani dkk (Departemen P dan K, 1998). Sementara buku kumpulan esainya juga pernah diterbitkan oleh Risalah Gusti, 2000, berjudul Sepintas Sastra Sufi.
Fudoli Zaini, memang aset penting yang dimiliki Surabaya, bahkan Indonesia. Sepulang dari Kairo tahun 1990, dia kembali mengajar di Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel Surabaya, serta mengajar di program Pasca Sarjana sejak dibuka pertama kali, tahun 1994.
5.      Kuntowijoyo[4]
Kuntowijoyo dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, pada tanggal 18 September 1943. Ia dibesarkan di Ceper, Klaten, dalam lingkungan keluarga Jawa yang beragama Islam beraliran Muhammadiyah. Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 dalam usia 62 tahun karena sakit. Kuntowiyo menyelesaikan SD dan madrasah tahun 1956 dan SMP tahun 1959, semuanya di Klaten. Ia sering mendengarkan siaran puisi dari radio Surakarta asuhan Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Mentornya, M. Saribi Arifin dan M.Yusmanam, mendorongnya untuk menulis sastra. Di SMA, ia banyak membaca karya sastra, baik dari penulis Indonesia maupun dari luar negeri, seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Dengan bekal itu, pada tahun 1964 ia menulis novel pertamanya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Selain itu, ia juga menulis cerpen dan drama pendek untuk klubnya. Namun, ia baru memublikasikan karyanya itu pada pada tahun 1967 di majalah Horison.
Setelah menyelesaikan SMA di Surakarta tahun 1962, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1969.Sebelumnya, ia menyelesaikan studi S-2 di The University of Connecticut, Amerika Serikat, tahun 1974. Disertasinya di Universitas Columbia, Social Change in an Agrarian Society: Madura1950—1940, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain menulis tentang sejarah Madura, ia juga menulis beberapa risalah sejarah dalam bentuk makalah dan paper yang tersebar. Salah satu karya terakhir di bidang sejarah ialah Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta.Sejak muda hingga akhir hayatnya, Kuntowijoyo tekun berkarya di bidang sastra: puisi, novel, cerita pendek, dan drama. Atas ketekunannya itu, ia pun banyak mendapat hadiah dan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.
Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.
Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).
Juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.
Sementara, karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.
6.      Zawawi Imron[5]
Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang 1 Januari 1945 di ujung timur pulau Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.
Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Buku puisinya yang lain adalah Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). Zawawi banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002).
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
Penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat ini memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995).
Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002). Beberapa Karyanya:
·         Semerbak Mayang (1977)
·         Madura Akulah Lautmu (1978)
·         Celurit Emas (1980)
·         Bulan Tertusuk Ilalang (1982; yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
·         Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985)
·         Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
·         Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)
·         Madura Akulah Darahmu (1999).
7.      Emha Ainun Nadzib[6]
Emha Ainun Nadjib dilahirkan di Mentro, Sumobinoto, Jombang Jawa timur pada hari Rabu Legi, 27 Mei 1953. Putra ke-4 dari 15 bersaudara dari pasangan H.A. Lathif dengan Hj. Halimah. Emha dibesarkan oleh orang tuanya yang suntuk dengan madrasah, langgar dan berbagai kegiatan sosial dengan penduduk di dusunnya.
Riwayat pendidikan formalnya acak-acakan, selepas dari SD di Jombang tahun 1965, Emha melanjutkan studinya di pondok pesantren Gontor. Pada tahun 1968 ia dikeluarkan dari pondok yang kemudian ia hijrah ke SMP Muhammadiyah IV di Yogyakarta tamat tahun 1968. Kemudian melanjutkan di SMA Muhammadiyah I di Yogyakarta tahun 1971. Emha kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tetapi hanya bertahan selama empat bulan. Secara formal dia berhenti studi, tetapi itu bukan berarti berhenti mencari ilmu.
Emha Ainun Najib tak pernah lelah untuk mengusung harkat kemanusiaan lewat jalur kultural. Semangat tak pernah lelah ini lahir dari kegelisahannya yang tak kunjung padam. Sejak mula Emha yang berusia belasan telah merasakan kegelisahan. Perjalanannya tak berhenti hingga dia mengenal PSK (Persada Studi Klub) arahan Umbu Landu Paranggi bersama penulis muda lainnya. Bukan hanya dunia kepenyairan yang digelutinya, panggung drama juga mampu menjadi kanal bagi kegelisahannya. Teater Dinasti adalah salah satu tempat Emha berkarya di masa 80-an.
Emha dikenal sebagai sosok, bahkan fenomena multikreatif. Setidaknya bila hal ini dilihat dari banyaknya predikat yang disandangkan masyarakat pada sosok Emha. Emha tidak saja dikenal sebagai sastrawan, budayawan, cendekiawan, pekerja sosial, kolomnis, seminaris, tapi juga kiai (spiritual leader), artis, humoris, serta sederet sebutan lainnya. Emha seolah menerobos definisi-definisi baku tentang berbagai predikat itu, menerobos segenap segmen masyarakat dan berbagi dengan mereka mengenai apa saja.
Sebagai Penyair, Emha pertama kali mempublikasikan puisinya pada akhir 1968 atau tepatnya awal 1969 di surat kabar Pelopor Yogya. Jika menilik kelahirannya yang tahun 1953, artinya ia telah menjadi penyair pada usia 16 tahun. Sebagaimana penyair pada umumnya, ia mulai menulis tentang puisi-puisi cinta, puisi-puisi tentang eksistensi diri, serta puisi-puisi protes. Tampaknya, waktu itu Emha berpuisi demi berpuisi itu sendiri. Pertaruhannya lebih pada upaya-upaya pencapaian estetis dan pencarian bentuk ucap yang sesuai dengan karakternya sebagai manusia.
Dalam konteks bersastra, Emha menyebut inilah tahapan tatkala ia berorientasi pada sastra murni atau sastra steril, yang menekankan “murni” aspek estetika. Sayang puisi-puisi awal Emha tidak terdokumentasi dengan baik dan belum terantologikan. Padahal hal tersebut penting untuk melihat proses kreatif dan kesejarahan seseorang bukan saja dalam pengertian individual, tetapi juga dalam konteks kesastraan dan kemasyarakatan.
Semua kualitas dan predikat tersebut tentu tidak diraihnya begitu saja. Emha telah berjuang mengatasi dirinya melalui proses yang panjang, dan berliku-liku. Emha bukan sosok yang dibesarkan oleh kemanjaan-kemanjaan. Emha, betul-betul bergulat dengan keadaan dan keterbatasan.
Satu hal yang selalu melekat pada diri Emha adalah, bahwa ia tidak saja berkutat di lapangan ide atau wacana, tapi ia pun selalu terjun langsung secara wajar di lapangan nyata dalam masyarakat, di mana ia adalah bagiannya. Berbagai ide dan aktivitas hidupnya tak lepas dari dimensi sosial dan spiritual. Secara sosiai, bisa dipahami, karena sosok Emha terbiasa hidup di tengah tengah masyarakat, berdialektika, serta melakukan hal-hal yang bermanfaat secara sosial. Emha agaknya menyadari betul akan fungsi-fungsi sosial yang diembannya. Secara spiritual, Emha tak, bisa dipisahkan dari corak religiusitasnya.
Sebagai salah satu sastrawan besar di Indonesia, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang Emha ikuti, baik untuk tingkat Nasional maupun Internasional, diantaranya adalah mengikuti lokakarya teater di Peta, Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Iowa City Amerika Serikat pada tahun 1981 (Jabrohim, 2003: 27), festival penyair internasional di Rotterdam (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada tahun 1985
Masih banyak aktifitas Emha sebagai seorang penyair maupun penulis naskah. Hal ini dikarenakan Emha lebih memilih untuk memasyarakatkan karya-karya sastra langsung kepada masyarakat luas, untuk itu ia memfokuskan pada pembacaan puisi di perkampungan, masjid-masjid, pertemuan-pertemuan tertentu, di depan buruh, mahasiswa dan lain sebagainya. Selain itu ia juga mempelopori musikalisasi puisi yang dimulai tahun 1970 dengan aktif menyelenggarakan Poetry Singing di Yogyakarta bersama beberapa penyair dan penyanyi muda.
8.      Sutarzo Calzoum Bachri[7]
Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari 'presiden penyair Indonesia'. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979),  Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.
Penyair kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan. Kejutan pertama dari rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar dan buku ...Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan tulisan mengupas perjalanan sastranya. Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).
Kejutan tak terduga kedua ialah dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya berupa uang Rp 100 juta. Soetardji tentu berterimakasih atas apresiasi itu, walau dia terlihat biasa saja saat menerima hadiah Rp 100 juta itu. "Sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak mendapat apresiasi masyarakat," ujarnya berterimakasih. Menurutnya, dia termasuk beruntung karena mendapat apresiasi.
Ketua Dewan Kesenian Riau Eddy Akhmad RM, mengatakan, pihaknya menabalkan Juni sebagai bulan Sutardji. Penabalan ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya, pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Karya Tulis:
O (1973), Amuk (1977), Amuk (1979), O Amuk Kapak (1981), Hujan Menulis Ayam (Kumpulan Cerpen, 2001), Isyarat (Kumpulan Esai)





Penutup
A.    Kesimpulan.
Dalam pembahasan yang telah dijabarkan diawal tadi, dapat kita ambilkesimpulan bahwa tokoh-tokoh intelek islam dalam pemikiran sastra abad 19- kontenporer antara lain :
o   Amir Hamzah (1911-1956 M)
o   Hamka (1908-1981)
o   Ki Panji Kusmin
o   Fudoli Zaini
o   Kuntowijoyo
o   Zawawi Imron
o   Emha Ainun Nadzib
o   Sutarzo Calzoum Bachri,
Dalam perkembangannya pada tahun 70-an sastra islam banyak menganut corak sufistik.
B.     Kritik dan saran
Dalam pembuatan makalah ini pastinya banyak sekali kesalahan pemakalah, baik dalam penulisan penempatan, dan bahasa. Karena dari irulah pemakalah mengharapkan kritik dan saran dai semuanyaguna memperbaiki makalah untuk kedepannya.














Daftar pustaka
DRS. Atang Abd. Hakim, 2000, Metode Studi Islam, bandung, Remaja Roskarya





























Sejarah perkembangan pemikiran bidang sastra
abad 19 sampai kontenporer
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah PSII
Dosen Pengampu: Emzinetri, M.Ag















Disusun Oleh:

Yusuf Al-Jannah
Melzi Agusman



PRODI ILMU QUR’AN DAN TADRIS
FAKULTAS USHULUDDIN,ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  BENGKULU
2013


[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah - See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-amir-hamzah-sastrawan.html#sthash.EBbsiFMR.dpuf
[3] http://brangwetan.wordpress.com/2007/10/04/m-fudoli-zaini-sastrawan-esais-surabaya/
[4]  DRS. Atang Abd. Hakim, Mwtode Studi Islam, Hal. 47
[5] http://pellokonengguru.blogspot.com/2012/04/biografi-pendek-d-zawawi-imron.html
[6] http://www.referensimakalah.com/2013/06/biografi-emha-ainun-nadjib.html
7. http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/soetardji-calzoum-bachri.html