Minggu, 06 Maret 2016
Pendahuluan
Banyak dari kita yang
sering mendengar suatu istilah bahkan sampe hafal istilah itu. Tapi kelemahan
kita adalah menghafal tampa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut.
Istilah sastra kerap melintas diselaput telinga kita tapi apa sih sesungguhnya
sastra itu?
Sastra (Sanskerta:
shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti
"teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata
dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam
bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada
"kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada
semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti
kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan
(sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran
tertentu.
Dalam
sebuah buku yang berjudul metodestudi Islam, dikatakan bahwa ketika ita
membicarkan mengenai estetika Islam maka kita harus melihat dari dua bidang. Pertama
bdang sastra dan kedua bidang arsitek. Dalam makalah ini kita akan
membahas mengenai perkembangan sastra Islam Indonesia pada abad ke-19 sampai
kontenporer.
Pembahasan
A.
Perkembangan sastra Islama Indonesia abad ke 19
Islam menurut catatan di China telah bertapak di Sumatera sejak 674
M, dengan bukti surat perjanjian negara Cina dengan negara Ta Shi yang diduga
adalah perkampungan para saudagar Arab. Bahasa Melayu selalu dikaitkan dengan
Islam sejak diperkenalkan di Asia Tenggara, hingga anggapan bahwa seorang
berbahasa Melayu adalah Muslim bukan hal aneh lagi.
Pembicaraan tentang sastra Melayu klasik biasanya dimulai pada abad
17 M. Tokoh pertama masa ini adalah Nuruddin Ar-Raniri yang berasal dari Ranir,
India, ia menetap di Aceh pada tahun 1637-1644. ia adalah seorang yang luas
pengetahuannya tentang naskah Arab-Persia, ia menulis buku berbahasa Melayu
yang terkesan aneh seperti Shirat Mustaqim dan Bustan As-Salathin. Ia
berseberangan ide dengan Syamsuddin Sumatrani (w 1630) dan Hamzah Fansuri yang
mengemukakan pendapatnya dalam syair-syairnya seperti Syair Dagang, Syair
Burung Pingai.
Bentuk-bentuk prosa yang terkenal pada masa itu adalah cerita, baik
cerita asli, saduran, tunggal maupun berbingkai, seperti Hikayat Anbiya, Hikayat
Nabi Bercukur, Bayan Budiman.
Masa selanjutnya setelah 3 tokoh diatas dunia sastra melayu
mencatat nama-nama seperti Abdul Samad Al-Palembani, penulis Hidayat
As-Salikin. Juga Kemas Muhammad bin Ahmad Al-Palembani dan Daud bin Abdullah
Al-Patani. Bentuk bentuk sastra pada abad 17-18 adalah berupa sastra kitab,
sastra sastra hikayat, sastra tata negara dan sastra sufi yang kemudian tidak
berkembang, dan bahkan mati.
Pada abad 19 dan 20 sastra Melayu berperan penting dalam dunia
politik, tema-tema atas kecaman penjajahan sangatlah dikenal. Novel-novel
seperti Setia Asyik kepada Masyuknya dan Shafik Afandi dan Faridah Hanom karya
Syaikh Ahmad Al-Hadi, adalah kecaman terhadap moral anak-anak bangsa yang
terpengaruh terhadap kultur penjajah. Juga novel karya Ahmad Rasyid Jalu, Iakah
Salma (1928 M).
Di Indonesia tema-tema Islam kurang mendapat perhatian, menurut
mereka pengalaman agama adalah hal pribadi, kecuali mungkin terhadap Amir
Hamzah (1911-1956 M) dan Hamka (1908-1981). Amir Hamzah menggemakan puisi-puisi
ala Hamzah Fansuri yang terjebak antara tradisi dan modernitas, karyanya
seperti Njanji Soenyi (1937 M), Boeah Rindoe (1941). Sedangkan Hamka, selain
terkenal sebagai sastrawan ia juga diakui sebagi ilmuwan, Hamka lebih
menyuarakan agama, karyanya seperti Dibawah Lindungan Ka’bah (1938 M), Merantau
Ke Deli (1939 M), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Pada masa kemerdekaan sastra Islam mendapat peluang untuk
memperlihatkan perannya, tapi karena dituduh tidak mendukung usaha pembentukan
budaya ala Sukarno sastra Islampun semakin dipinggirkan, puncaknya pada tuduhan
terhadap Hamka yang dituduh menjiplak karya Manfaluthi yaitu Qissah Majdulin
(kisah cinta Mahdalena) untuk karyanya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Padahal
sejak masa Raniri tradisi adaptasi karya telah dilakukan.
Pada masa orde baru sekali lagi sastra Islam diberi ruang untuk
lebih bergerak, karena pemerintah mencoba mengambil simpati agama untuk melawan
Komunis, tapi sastra tetap tidak berhasil menunjukkan dirinya. Bahkan ketika
Langit Makin Mendung (1968 M) novel karya Ki Panji Kusmin yang menghebohkan
diseret ke pengadilan-karena dituduh melecehkan agama Islam-lagi-lagi para
sastrwan muslim tidak bisa menunjukkan buktinya, bahkan mereka menganggap hal
seperti itu adalah kebebasan berkarya yang harus dihormati. Sungguh suatu sikap
moderat yang terlalu berlebihan.
Pada tahun 1970-an kecendrungan sastra sufistik sangat kental. Yang
mana ditandainya karya-karya yang ditulis oleh kuntowijoyo dengan judul khutbah
diatas bukit dan Fudoli Zaini dengan judul Arafah.
Meskipun kalah sastra Islam tetap memberikan sumbangan terhadap
sastra nasional. Para sastrawan muslim selanjutnya selalu mencoba mengangkat
tema-tema Islam seperti Zawawi Imron dengan karyanya Nenek Moyangku, Air Mata
(1985 M), Emha Ainun Nadzib dengan Untuk Tuhanku (1983 M), Sutarzo Calzoum
Bachri dengan O,Amuk Kapak (1981 M).
B.
Totkoh-tokoh sastra Islam indonesia abad 19-kontenporer
1.
Amir Hamzah (1911-1956 M)[1]
Amir
Hamzah adalah seorang sastrawan Indonesia
angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan
Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan
kebudayaan Melayu.
Nama lengkap
beliau adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera beliau dilahirkan di Tanjung
Pura, Langkat, Sumatera Timur, pada tanaggal 28 Februari 1911. Beliau wafat di Begumit,
pada tanggal 20 Maret 1946. Belai merupakan angkatan Pujangga Baru, Karya
terkenal Buah Rindu.
Amir Hamzah
bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan
dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya
dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam
kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935
terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi
sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn
Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin
dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan
puisi karyanya yang lain:
Nyanyi Sunyi (1937), Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), Syirul Asyar .
Nyanyi Sunyi (1937), Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), Syirul Asyar .
Amir Hamzah
tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi
penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang.
Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus
dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah
terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra
bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit
dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat
menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
2.
Hamka (1908-1981)[2]
Hamka (1908 – 1981) adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul
Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik, dan penulis Indonesia
yang terkenal di nusantara. Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau
dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau. Belakangan, Hamka mendapat sebutan Buya, panggilan untuk orang
Minang yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang
berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif,
seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar
(5 jilid). Di antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi
buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.
Pandjikusmin
lahir dari keluarga Islam. Nama Kusmin diambil dari nama ayahnya saat kecil,
sementara Pandji nama kakeknya dari pihak ibu. Ayahnya menikah lagi dalam
pengungsian pada 1945, di Malang. Sejak berumur lima tahun, ia ikut ibu tiri.
Ibu tirinya adalah seorang Protestan. Ia disekolahkan di sekolah Kristen di
Malang dan oleh ibunya dan dididik sebagai Protestan.
Semasa
sekolah dasarnya di Malang, ia sering tak naik kelas. Tingkah lakunya bandel,
sehingga ibu tirinya mengirim ke Asrama Katolik Boro di Kulonprogo, Yogya.
Selama tiga tahun dia diasuh oleh Pastor Harsosusanto dan Bruder Themoteus. Di sinilah
ia kemudian dibaptis menjadi seorang Katolik. Setamat SD di Bruderan Boro,
Kulonprogo, ia melanjutkan studi ke SMP Kanisius Salatiga.
Tahun 1956,
lulus dari SMP Kanisius, ia pergi ke Semarang. Di Semarang, ia masuk SMA
Protestan—yaitu SMA Masehi, tapi ia tetap Katolik. Beberapa bulan kemudian,
ayahnya, yang telah menetap di Jakarta, menikah kembali. Ibu tirinya meninggal.
Upacara pernikahan secara Islam ini mengetuk hatinya. Penghulu dan doa-doa yang
dibaca membuat ia terkenang akan masa kecilnya. Sejak itu, Ki Pandjikusmin
memutuskan kembali masuk Islam. Ia meninggalkan SMA Masehi Semarang, lalu
akhirnya pindah ke Akademi Pelayaran Nasional. Selama enam tahun ia menjalani
wajib dinas di Jakarta.
Setelah
heboh cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin ternyata masih mengirim
naskah ke Horison. Pada 1970, ia mengirim cerpen berjudul Petasan dalam Sampah.
Naskah itu tidak dimuat karena tidak lolos kriteria Taufik Ismail. “Kalau saya
jadi redaktur Sastra, Langit Makin Mendung pun tidak saya loloskan. Itu cerpen
jelek. Metafora Ki Pandjikusmin sangat sederhana dan kekanakan. Tuhan melayang
di atas, memakai kacamata seperti orang tua. Imajinya begitu miskin,” tutur
Taufiq kepada Dharmawan Sepriyossa dari TEMPO. Pada 20 Oktober 1971, sang
pengarang misterius mengirim cerpen berjudul Dia Tidak Tidur. Yang ini dimuat
di Horison edisi Desember 1972. Bila kita tilik alamat suratnya, kini ia
berpindah lagi, yaitu Jalan Perhutani I Jalan Rajawali 40 Surabaya. Jadi,
semenjak 1967, berdasarkan surat-surat lusuh itu, Ki Pandjikusmin tampaknya
telah berpindah empat kali: Jakarta, Probolinggo, Singapura, dan Surabay.
4.
Fudoli Zaini
Namanya
memang identik dengan “sastra religius” lantaran sastrawan yang satu ini memang
intensif belajar sastra Arab, Sastra Sufi, langsung dari negeri asalnya selama
puluhan tahun, dan banyak melahirkan cerpen bernuansa religius. Muhammad Fudoli
Zaini adalah salah satu cerpenis kuat yang diakui di negeri ini.
Lahir di
Sumenep, 8 Juli 1942, setamat SMA dia singgah sebentar di Universitas Gadjah
Mada Jogjakarta, kemudian masuk IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kemudian melanjutkan
studi di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, atas beasiswa universitas
tersebut. Mula-mula ia belajar syariah, kemudian belajar sejarah di Institute
of Islamic Studies di kota yang sama, lantas belajar Sastra Arab Modern di
Institute of Arabic Studies. Namun minat dan keseriusannya kembali lagi
menggiringnya ke Universitas Al Azhar, belajar filsafat dan secara khusus
belajar Filsafat Tasawuf hingga meraih gelar MA dan PhD dalam bidang tersebut.
Dalam
khasanah sastra Indonesia, nama Fudoli sudah banyak berkibar tahun 70-an di
majalah sastra ternama Horison, cerpen dan esainya juga menghiasi banyak media
massa. Kumpulan cerpennya yang telah dibukukan adalah Lagu dari Jalanan (Balai
Pustaka, Jakarta, 1982), Potret Manusia (Balai Pustaka, Jakarta, 1983), Arafah
(Pustaka, Bandung, 1985), Kota Kelahiran (Balai Pustaka, Jakarta, 1985),
Batu-batu Setan (Pustaka Firdaus, Jakarta 1994), Rindu Ladang Padang Ilalang
(Bentang Budaya, Jogjakarta, 2002), sementara beberapa buku kumpulan cerpennya
masih menyusul diterbitkan. Dari data ini saja dapat terlihat betapa
produktifnya seorang Fudoli, termasuk cerpen-cerpennya yang dimuat di sejumlah
antologi, seperti Angkatan 66 oleh HB Yassin, Laut Biru Langit Biru (Ajip
Rosidi), dari Jodoh Sampai Supijah (Radio Nederland), Cerita Pendek Indonesia
(Satyagraha Hoerip), Beyond the Horizon (David T. Hill, Monash University,
Australia), Limau Walikota (Surabaya Post) dan banyak lagi, termasuk sejumlah cerpennya
yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Buku
antologi Kota Kelahiran sempat mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai
karya fiksi terbaik, sedangkan Suminten mendapat penghargaan dari Dewan
Kesenian Jakarta, 1999. Buku yang mengulas cerpen-cerpennya dengan sangat luas
adalah Sastra Indonesia di Madura oleh Kisyani dkk (Departemen P dan K, 1998).
Sementara buku kumpulan esainya juga pernah diterbitkan oleh Risalah Gusti,
2000, berjudul Sepintas Sastra Sufi.
Fudoli
Zaini, memang aset penting yang dimiliki Surabaya, bahkan Indonesia. Sepulang
dari Kairo tahun 1990, dia kembali mengajar di Fakultas Ushuludin IAIN Sunan
Ampel Surabaya, serta mengajar di program Pasca Sarjana sejak dibuka pertama
kali, tahun 1994.
5.
Kuntowijoyo[4]
Kuntowijoyo
dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, pada tanggal 18 September 1943. Ia dibesarkan
di Ceper, Klaten, dalam lingkungan keluarga Jawa yang beragama Islam beraliran
Muhammadiyah. Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 dalam usia 62
tahun karena sakit. Kuntowiyo menyelesaikan SD dan madrasah tahun 1956 dan SMP
tahun 1959, semuanya di Klaten. Ia sering mendengarkan siaran puisi dari radio
Surakarta asuhan Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Mentornya, M. Saribi
Arifin dan M.Yusmanam, mendorongnya untuk menulis sastra. Di SMA, ia banyak
membaca karya sastra, baik dari penulis Indonesia maupun dari luar negeri,
seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Dengan bekal itu, pada
tahun 1964 ia menulis novel pertamanya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari,
yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966.
Selain itu, ia juga menulis cerpen dan drama pendek untuk klubnya. Namun, ia
baru memublikasikan karyanya itu pada pada tahun 1967 di majalah Horison.
Setelah menyelesaikan
SMA di Surakarta tahun 1962, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun
1969.Sebelumnya, ia menyelesaikan studi S-2 di The University of Connecticut,
Amerika Serikat, tahun 1974. Disertasinya di Universitas Columbia, Social
Change in an Agrarian Society: Madura1950—1940, sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Selain menulis tentang sejarah Madura, ia juga menulis
beberapa risalah sejarah dalam bentuk makalah dan paper yang tersebar. Salah
satu karya terakhir di bidang sejarah ialah Raja, Priyayi, dan Kawula:
Surakarta.Sejak muda hingga akhir hayatnya, Kuntowijoyo tekun berkarya di
bidang sastra: puisi, novel, cerita pendek, dan drama. Atas ketekunannya itu,
ia pun banyak mendapat hadiah dan penghargaan, baik dari dalam maupun luar
negeri.
Karya-karyanya
pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah
dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak
sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah
majalah sastra.
Kemudian
kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga,
mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu
Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas
berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.
Novel Pasar
meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-Rumput Danau
Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian
Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana
Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan
Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
dan FEA Right Award Thailand (1999).
Juga
menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia
(1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas,
berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang
Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.
Sementara,
karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar
Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993).
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat
Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.
6.
Zawawi Imron[5]
Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang 1 Januari
1945 di ujung timur pulau Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra
Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada
1982. Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dia
melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan
sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat
film layar perak Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan
mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.
Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek
Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka
hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Buku puisinya yang lain adalah
Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren
Ilmu Giri (Yogyakarta). Zawawi banyak berceramah Agama sekaligus membacakan
sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai
Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Pembicara
Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia
Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002).
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
Penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat ini memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995).
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
Penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat ini memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995).
Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu
Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda
(2002). Beberapa Karyanya:
·
Semerbak
Mayang (1977)
·
Madura
Akulah Lautmu (1978)
·
Celurit Emas
(1980)
·
Bulan
Tertusuk Ilalang (1982; yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
·
Nenek
Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P &
K, 1985)
·
Bantalku
Ombak Selimutku Angin (1996)
·
Lautmu Tak
Habis Gelombang (1996)
·
Madura
Akulah Darahmu (1999).
7.
Emha Ainun Nadzib[6]
Emha Ainun Nadjib dilahirkan di
Mentro, Sumobinoto, Jombang Jawa timur pada hari Rabu Legi, 27 Mei 1953. Putra
ke-4 dari 15 bersaudara dari pasangan H.A. Lathif dengan Hj. Halimah. Emha
dibesarkan oleh orang tuanya yang suntuk dengan madrasah, langgar dan berbagai
kegiatan sosial dengan penduduk di dusunnya.
Riwayat pendidikan formalnya
acak-acakan, selepas dari SD di Jombang tahun 1965, Emha melanjutkan studinya
di pondok pesantren Gontor. Pada tahun 1968 ia dikeluarkan dari pondok yang
kemudian ia hijrah ke SMP Muhammadiyah IV di Yogyakarta tamat tahun 1968.
Kemudian melanjutkan di SMA Muhammadiyah I di Yogyakarta tahun 1971. Emha
kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tetapi hanya bertahan selama empat bulan. Secara
formal dia berhenti studi, tetapi itu bukan berarti berhenti mencari ilmu.
Emha Ainun Najib tak pernah lelah
untuk mengusung harkat kemanusiaan lewat jalur kultural. Semangat tak pernah
lelah ini lahir dari kegelisahannya yang tak kunjung padam. Sejak mula Emha
yang berusia belasan telah merasakan kegelisahan. Perjalanannya tak berhenti
hingga dia mengenal PSK (Persada Studi Klub) arahan Umbu Landu Paranggi bersama
penulis muda lainnya. Bukan hanya dunia kepenyairan yang digelutinya, panggung
drama juga mampu menjadi kanal bagi kegelisahannya. Teater Dinasti adalah salah
satu tempat Emha berkarya di masa 80-an.
Emha dikenal sebagai sosok, bahkan
fenomena multikreatif. Setidaknya bila hal ini dilihat dari banyaknya predikat
yang disandangkan masyarakat pada sosok Emha. Emha tidak saja dikenal sebagai
sastrawan, budayawan, cendekiawan, pekerja sosial, kolomnis, seminaris, tapi
juga kiai (spiritual leader), artis, humoris, serta sederet sebutan lainnya.
Emha seolah menerobos definisi-definisi baku tentang berbagai predikat itu,
menerobos segenap segmen masyarakat dan berbagi dengan mereka mengenai apa
saja.
Sebagai Penyair, Emha pertama kali
mempublikasikan puisinya pada akhir 1968 atau tepatnya awal 1969 di surat kabar
Pelopor Yogya. Jika menilik kelahirannya yang tahun 1953, artinya ia telah
menjadi penyair pada usia 16 tahun. Sebagaimana penyair pada umumnya, ia mulai
menulis tentang puisi-puisi cinta, puisi-puisi tentang eksistensi diri, serta
puisi-puisi protes. Tampaknya, waktu itu Emha berpuisi demi berpuisi itu
sendiri. Pertaruhannya lebih pada upaya-upaya pencapaian estetis dan pencarian
bentuk ucap yang sesuai dengan karakternya sebagai manusia.
Dalam konteks bersastra, Emha
menyebut inilah tahapan tatkala ia berorientasi pada sastra murni atau sastra
steril, yang menekankan “murni” aspek estetika. Sayang puisi-puisi awal Emha
tidak terdokumentasi dengan baik dan belum terantologikan. Padahal hal tersebut
penting untuk melihat proses kreatif dan kesejarahan seseorang bukan saja dalam
pengertian individual, tetapi juga dalam konteks kesastraan dan kemasyarakatan.
Semua kualitas dan predikat tersebut
tentu tidak diraihnya begitu saja. Emha telah berjuang mengatasi dirinya
melalui proses yang panjang, dan berliku-liku. Emha bukan sosok yang dibesarkan
oleh kemanjaan-kemanjaan. Emha, betul-betul bergulat dengan keadaan dan
keterbatasan.
Satu hal yang selalu melekat pada
diri Emha adalah, bahwa ia tidak saja berkutat di lapangan ide atau wacana,
tapi ia pun selalu terjun langsung secara wajar di lapangan nyata dalam
masyarakat, di mana ia adalah bagiannya. Berbagai ide dan aktivitas hidupnya
tak lepas dari dimensi sosial dan spiritual. Secara sosiai, bisa dipahami,
karena sosok Emha terbiasa hidup di tengah tengah masyarakat, berdialektika,
serta melakukan hal-hal yang bermanfaat secara sosial. Emha agaknya menyadari
betul akan fungsi-fungsi sosial yang diembannya. Secara spiritual, Emha tak,
bisa dipisahkan dari corak religiusitasnya.
Sebagai salah satu sastrawan besar
di Indonesia, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang Emha ikuti, baik untuk
tingkat Nasional maupun Internasional, diantaranya adalah mengikuti lokakarya
teater di Peta, Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Iowa
City Amerika Serikat pada tahun 1981 (Jabrohim, 2003: 27), festival penyair
internasional di Rotterdam (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat,
Jerman pada tahun 1985
Masih banyak aktifitas Emha sebagai
seorang penyair maupun penulis naskah. Hal ini dikarenakan Emha lebih memilih
untuk memasyarakatkan karya-karya sastra langsung kepada masyarakat luas, untuk
itu ia memfokuskan pada pembacaan puisi di perkampungan, masjid-masjid,
pertemuan-pertemuan tertentu, di depan buruh, mahasiswa dan lain sebagainya.
Selain itu ia juga mempelopori musikalisasi puisi yang dimulai tahun 1970
dengan aktif menyelenggarakan Poetry Singing di Yogyakarta bersama beberapa
penyair dan penyanyi muda.
8.
Sutarzo Calzoum Bachri[7]
Pria
kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari 'presiden penyair Indonesia'. Menurut para
seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut
yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang
sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dia telah
meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah
Sastra ASEAN (1979), Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar
(1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri
saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil
tiduran dan tengkurap.
Penyair
kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun
ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di
Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan. Kejutan pertama dari
rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau
Ngit Cari Agar dan buku ...Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan
tulisan mengupas perjalanan sastranya. Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan
puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada
dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).
Kejutan tak
terduga kedua ialah dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya
berupa uang Rp 100 juta. Soetardji tentu berterimakasih atas apresiasi itu,
walau dia terlihat biasa saja saat menerima hadiah Rp 100 juta itu.
"Sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak
mendapat apresiasi masyarakat," ujarnya berterimakasih. Menurutnya, dia
termasuk beruntung karena mendapat apresiasi.
Ketua Dewan
Kesenian Riau Eddy Akhmad RM, mengatakan, pihaknya menabalkan Juni sebagai
bulan Sutardji. Penabalan ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya,
pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit,
menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik
dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil
Anwar pergi.
Karya Tulis:
O (1973), Amuk
(1977), Amuk (1979), O Amuk Kapak (1981), Hujan Menulis Ayam (Kumpulan Cerpen,
2001), Isyarat (Kumpulan Esai)
Penutup
A.
Kesimpulan.
Dalam pembahasan yang telah
dijabarkan diawal tadi, dapat kita ambilkesimpulan bahwa tokoh-tokoh intelek
islam dalam pemikiran sastra abad 19- kontenporer antara lain :
o Amir Hamzah
(1911-1956 M)
o Hamka
(1908-1981)
o Ki Panji Kusmin
o Fudoli Zaini
o Kuntowijoyo
o Zawawi Imron
o Emha Ainun
Nadzib
o Sutarzo Calzoum
Bachri,
Dalam perkembangannya pada tahun 70-an sastra islam banyak menganut
corak sufistik.
B.
Kritik dan
saran
Dalam pembuatan makalah ini pastinya banyak sekali kesalahan
pemakalah, baik dalam penulisan penempatan, dan bahasa. Karena dari irulah
pemakalah mengharapkan kritik dan saran dai semuanyaguna memperbaiki makalah
untuk kedepannya.
Daftar pustaka
DRS. Atang Abd. Hakim, 2000, Metode Studi
Islam, bandung, Remaja Roskarya
Sejarah
perkembangan pemikiran bidang sastra
abad 19
sampai kontenporer
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah PSII
Dosen Pengampu: Emzinetri, M.Ag
Disusun
Oleh:
Yusuf
Al-Jannah
Melzi
Agusman
PRODI ILMU QUR’AN DAN TADRIS
FAKULTAS USHULUDDIN,ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2013
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah
- See more at:
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-amir-hamzah-sastrawan.html#sthash.EBbsiFMR.dpuf
[3] http://brangwetan.wordpress.com/2007/10/04/m-fudoli-zaini-sastrawan-esais-surabaya/
[4] DRS. Atang Abd. Hakim, Mwtode
Studi Islam, Hal. 47
[5] http://pellokonengguru.blogspot.com/2012/04/biografi-pendek-d-zawawi-imron.html
[6] http://www.referensimakalah.com/2013/06/biografi-emha-ainun-nadjib.html
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-Qur’an
al-karim merupakan hidangan ilahi yang berfungsi sebagai hudan dalam
memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita yang
dapat menerangi berbagai persoalan hidup. Bahasanya yang demikian mempesona,
redaksi dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung telah meluluhkan kalbu
masyarakat yang ditemuinya dan membuat mereka berdecak kagum. Namun dewasa ini,
penulis melihat masyarakat hanya berhenti dalam pesona bacaan seakan-akan kitab
suci diturunkan hanya untuk dibaca.
Sebagai
intelektual muslim, ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan
pesan-pesan yang tersimpan di balik setiap untaian mutiara kata dan menjelaskan
nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an
dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampikan nilai-nilai
tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penyajian maupun metode
pembahasan. Di samping itu, metode pendekatan juga diperlukan. Salah satu
metode pendekatan yang sangat signifikan dalam memahami al-Qur’an adalah
pendekatan linguistik atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir lughawi.
Tafsir lughawi
sangat diperlukan dalam memahami al-Qur’an di samping karena al-Qur’an
menggunakan bahasa arab yang penuh dengan sastra, balaghah, fashahah, bayan,
tamsil dan retorika, al-Qur’an juga diturunkan pada masa kejayaan syair dan
linguistik. Bahkan pada awal Islam, sebagian orang masuk Islam hanya
karena kekaguman linguistik dan kefasihan al-Qur’an.
Kandungan dan
cakupan bahasa arab yang amat luas tentu akan menimbulkan keragaman tafsir
lughawi, mulai dari metode penyajian, pembahasan hingga jenis-jenisnya.
Keragaman tersebut tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan setiap mufassir
dalam mengkaji dan menyajikan al-Qur’an kepada audiensnya. Disamping itu,
kapasitas intelektual seorang mufassir juga sangat berperan dalam menafsirkan
al-Qur’an melalui pendekatan linguistik.
Namun sebagai
karya manusia, tafsir lughawi juga tidak akan jauh dari penilaian-penilaian
negatif, akan tetapi penilaian tersebut tidak serta merta membawa seseorang
untuk tidak mempelajari dan mengkajinya, karena dibalik setiap keterbatasan
akan muncul beberapa keistimewaan dan keunggulan yang terkadang tidak dimiliki
oleh yang lain.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan-pemaparan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, dapat
dibuat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
- Apa pengertian tafsir lughawi ?
- bagaimana sejarah perkembangannya?
- Apa saja jenis-jenis tafsir lughawi dan metode apa saja yang
digunakan?
- Sejauh mana pengaruh tafsir lughawi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TAFSIR LUGHAWI
Tafsir lughawi terdiri dua kata yaitu tafsir dan lughawi. Tafsir yang akar
katanya berasal dariفسر bermakna
keterangan atau penjelasan.[1]
Kemudian lafal tersebut diikutkan wazan فعل yang
berarti menjelaskan atau menampakkan sesuatu. Dengan demikian, tafsir adalah
membuka dan menjelaskan pemahaman kata-kata dalam al-Qur’an. Sedangkan lughawi
berasal dari akar kata لغي yang berarti gemar
atau menetapi sesuatu.[2]
Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata yang
digunakannya, maka kata-kata itu disebut lughah. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan lughawi adalah kata-kata yang digunakan, baik secara lisan
maupun tulisan.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna
al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. atau lebih simpelnya
tafsir lughawi adalah menjelaskan al-Qur’an al-karim melalui interpretasi
semiotik dan semantik yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal,
gramatikal dan retorikal.
Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa
arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan
sastranya. Dengan mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufassir akan mudah
untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an
sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad
Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi,
balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di
sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
B.
Sejarah Perkembangan Tafsir Lughawi
Umat Islam sejak Rasulullah hingga sekarang, berusaha sekuat tenaga
mencurahkan kemampuannya untuk memahami dan menafsirkan al-Quran. Orang pertama
yang memahami dan menafsirkan al-Qur’an adalah Rasulullah. di samping
karena ada perintah Allah untuk menjelaskan wahyu tersebut, kapasitas
Rasulullah juga sebagai pembawa dan penyampai wahyu. Penafsiran Rasulullah
tentu tidak mencakup seluruh ayat-ayat al-Qur’an akan tetapi hanya berkisar
pada apa yang tidak dimengerti atau kurang jelas kepada para sahabatnya atau
ayat-ayat yang dipertanyakan oleh mereka atau dianggap penting untuk
dijelaskan. Dan salah satu cara Rasulullah menjelaskan dan menafsirkan
al-Qur’an adalah melalui pendekatan bahasa dengan mencarikan makna muradif
(sinonim) nya atau menjelaskan makna kosa kata dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Setelah penafsiran Rasulullah, orang yang paling memperhatikan,
mempelajari, menghafal dan merealisasikan al-Qur’an adalah para sahabat. Akan
tetapi sebelum mengamalkan al-Qur’an, mereka mancari tahu tentang makna setiap
lafal atau kata yang tidak termasuk dalam bahasa mereka, atau kata yang jarang
digunakan atau kata yang tidak menggunakan makna aslinya. Dan hal itu marak
terjadi setelah Rasulullah telah tiada. Sahabat yang paling banyak ditanya
tentang makna dan sinonim kalimat al-Qur’an dan paling banyak menafsirkan
al-Qur’an melalui pendekatan bahasa atau syair-syair arab klasik adalah
Abdullah bin Abbas.
Penafsiran Abdullah bin Abbas yang cenderung menjadikan syair sebagai salah
satu sumber penafsirannya merupakan cikal bakal munculnya madrasah lughah. Hal
itu terjadi ketika menjadi pengajar dan pembimbing di madrasah tafsir di Makkah
yaitu pada abad pertama Hijriyah dan diteruskan oleh para murid-muridnya
seperti Said bin Jabir, Mujahid bin Jabar, Ikrimah, Thawus bin Kaisan dan Atha’
bin Abi Rabah hingga abad ke-2 Hijriyah.
Pada abad ke-3 Hijiriyah, muncullah tiga madrasa yaitu Madrasah al-Lughah
yang diprakarsai oleh Abu Zakariya al-Farra’ (w. 207 H) yang menafsirkan
al-Qur’an melalui pendekatan bahasa dengan kitabnya “Ma’an al-Qur’an”,
Abu Ubaidah (lahir 110 H) dengan tafsrinya “Majaz al-Qur’an” dan Abu
Ishaq al-Zajjaj (w. 311 H) dengan kitabnya “Ma’an al-Qur’an”, kemudian Madrasah
al-‘Aqliyah yang dipelopori Imam al-jahizh dan Madrasah al-Tafsir
bi al-Ma’tsur oleh Ibn Jarir al-Thabary (w. 224 – 310 H). Tafsir al-Thabari
juga dikenal sebagai tafsir yang mencoba memadukan elemen riwayat dan bahasa.
Sejak itulah, penafsiran melalui pendekatan bahasa berkembang dan senantiasa
digunakan dan dibutuhkan hingga dewasa ini.
C.
Jenis-Jenis Tafsir Lughawi Dan Metode Yang Digunakan
Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui
bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak
akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
·
Tafsir lughawi yang
murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja,
seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya
al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
·
Tafsir lughawi yang
pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan
sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih
al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal
hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish
Shihab.
1.
Jenis-jenis Tafsir Lughawi
Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk
dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja
dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkalaborasikan bersama
corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan
dijelaskan sebagai berikut:
a. Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus
membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan
fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
b. Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik,[3] dan semantik[4]) yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan
korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep
Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
c. Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek
korelasi antarayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa
al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya
Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab,
dll.
d. Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos
perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal
min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim
al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H), Majaz
al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
e. Tafsir Balaghah yang meliputi tiga aspek yaitu:
1) Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna
kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an
al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
2) Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan
lafal dari akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang
lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint
al-Syathi’.
3) Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji
al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’
al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)
f. Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir
al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin Muhammad
al-Jazry (w. 843 H).
g. Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni
bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an
min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
2.
Peran, Pengaruh dan
Contoh Tafsir Lughawi
Analisis Penafsiran dan pemikiran terhadap al-Qur’an tidak akan bisa
dilakukan tanpa bahasa karena bahasalah yang mengantarkan dan menghubungkan
antara kandungan makna lafal dengan lafal yang lain. Tanpa bahasa, analisis
pemikiran tidak akan berarti apa-apa.[5]
Oleh karena itu, peran dan pengaruh dari tafsr lughawi tentu akan
mencakup sekian banyak aspek atau corak penafsiran. Di antaranya:
a.
Aspek hukum (fiqh)
seperti ketika menafsirkan kalimat وأرجلكم dalam masalah wudhu’ surah al-Maidah ayat 6, jika
dibaca manshub (harkat fathah) maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika
berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap[6],
tetapi jika majrur (harkat kasrah) maka yang wajib hanya mengusap. Dan masih
banyak contoh-contoh yang lain.
b.
Aspek theology seperti
pada saat menafsirkan إياك نعبد وإياك نستعين dengan didahulukannya lafalإياك dari lafal نعبد,
berarti dalam beribadah tidak boleh terjadi kesyirikan karena lafal tersebut
bermakna hashar (terbatas, khusus).
c.
Aspek filsafat misalnya
ketika menafsirkan lafal شياطين الجن dalam surah al-An’am ayat 112 dengan melakukan
pendekatan makna akar kata dari kata شطن (jauh) dan
جنن (yang tersembunyi) maka sekelompok filosof
menafsirkan lafal tersebut dengan “Nafsu yang jauh berpisah lagi jelek yang
berlindung dari panca indra”.
d.
Aspek sufistik semisal
ketika Ibnu Araby mengatakan bahwa lafal عند ربه menjadi zharaf dari lafal ومن يعظم dalam surah al-Hajj
ayat 30, sehingga maksud ayat ini bisa mengarah kepada ajaran tasawwuf yaitu
“Barang siapa yang mengagungkan kemulyaan Allah di sisi Tuhannya pada suatu
tempat, maka hendaklah dia cari pada tempat yang lain yang ada di sisi Tuhanmu.
e.
Aspek ilmy (saintifik)
yaitu ketika menafsirkan lafal سلطان dalam surah al-Rahman ayat 33, sebagian pakar
mengatakan bahwa seseorang mampu mencapai luar angkasa dengan سلطان.
Begitu juga saat menafsirkan surah al-Furqan ayat 53 yang menunjukkan adanya
pemisah antara air tawar dan asin melalui pendekatan bahasa. Dan aspek-aspek
lain yang belum sempet penulis telaah lebih jauh.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa point penting tentang tafsir
lughawi, antara lain sebagai berikut:
- Tafsir lughawi adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an
melalui interpretasi semiotik, semantik dan semua hal yang terkait dengan
linguistik. Keberadaan tafsir lughawi sudah ada sejak masa Rasulullah,
sahabat, khususnya Abdullah bin Abbas, tabi’in dan terus berlanjut dari
generasi ke generasi hingga sekarang.
- Jenis-jenis tafsir lughawi antara lain tafsir nahwu atau i’rab
al-Qur’an, sharaf atau morpologi, munasabah, al-amtsal
(alegori), balaghah (ma’any, bayan dan badi’), qir’ah,
klasifikasi bahasa, dll. Sedangkan metode yang digunakan dalam
penyajiannya hanya terpokus pada dua metode yaitu tahlily dan maudhu’i.
Untuk pembahasannya, tafsir lughawi menggunakan empat metodologi yaitu
tahlily, ijmaly, muqaran dan maudhu’i.
- Peran dan pengaruh tafsir lughawi meliputi berbagai aspek,
antara lain aspek hukum (fiqh), theology, filsafat, sufistik dan ilmy
(saintifik). Disamping itu, tafsir lughawi memiliki beberapa keistimewaan
di antaranya linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an,
mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an,
dll. Akan tetapi tafsir lughawi juga tidak lepas dari limitasi antara lain
terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele, mengabaikan realitas
sosial dan asbab al-nuzul serta nasikh-mansukh,dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Syihab dkk, Quraisy, Sejarah dan Ulum Al
Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
al-Dzahabi, Muhammad Husein, Kitâb al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995)
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode
Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994)
Mathr, Amirah Hilmy, al Falsafah al
Yunaniyah; Tarikhuha wa Musykilatuha, Kairo: Daar Quba’, 1998
Abdullah, M. Amin, Antara al Ghazali dan
Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme
dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978
Shihab, Quraish, Lihat,
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. (Jakarta
Selatan: Teraju, Cet, I, 2003)
Tafsir
lughawi
Makalah ini Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata metodologi pemahan tafsir
Dosen Pengampu: Dr.
Aibdi Rahmat, M.Ag
Disusun Oleh:
Yusuf Al-Jannah
2113428004
PRODI ILMU QUR’AN DAN TADRIS
FAKULTAS USHULUDDIN,ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2014
[3] Semiotik adalah menganalisa hubungan antara kata, baik
sebelum dan sesudahnya dalam satu kalimat seperti tafsir al-Qur’an al-Karim
karya Quraish Shihab. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi. (Jakarta Selatan: Teraju, Cet, I, 2003) hal
211
[4] Semantik ialah analisa
bahasa yang terkait antar beberapa kosa kata yang sama artinya atau yang
berlawanan, begitu juga isytiqaq (perubahannya)
[5] Abd Azhim bin Ibrahim al-Muth’iny, Khashaish
al-Ta’bir al-Qur’any, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992) hal. 49
[6] Abu Abdillah al-Qurthubi, al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, (Bairut Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, Cet. V,
2003) Jilid. 6 hal. 90
Langganan:
Postingan (Atom)