Prodi : IQT M.Kuliah : Tafsir III
A. PENGERTIAN TAFSIR
“Tidakkah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan (sesuatu) yang
ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Menurut Abu
Hayyan, tafsir secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode
pengucapan lafadz-lafadz al Qur`an, petunjuk- petunjuknya, hukum-hukumnya, baik
ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.
Menurut
Az-Zarkasyy “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya."
Dalam kitab
Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, dan menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan
hukum-hukum dan hikmah- hikmahnya, menguraikan dari segi bahasa, nahwu, shorof,
ilmu bayan, ushul fiqh dan imu qiraat, untuk mengetahui sebab- sebab turunya
ayat dan nasikh mansukh.
Menurut
istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang memepelajari kandungan kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi SAW, berikut penjelasan maknanya, pengambilan hukum
serta hikmah- hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah
ilmu yang memebahas al-Qur’anul Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud
Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
B.
PENGERTIAN TA’WIL
Sedangkan pengerian ta’wil adalah sebagi berikut :
1.
Ta’wil
secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali keasal.
2.
Arti takwil
menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut
Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir. Namun menurut Al-Jurzzani Memalingkan
suatu lafazh dari makna d’zamirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila
makna alternative yang dipandang sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan
As-sunnah.
3.
Secara
etimologi, kata takwil berasal dari kata dasar أَوَّلَ
– يُؤَوِّلُ
- تَأْوِيْلٌ
yang berarti رَجَعَ, yakni kembali. Al-Jurjaniy dalam kamusnya al-Ta`rifât,
menyebutkan bahwa takwil pada asalnya bermakna اَلتَّرْجِيْعُ
(mengembalikan). Sedangkan
al-Asfahaniy menambah keterangan bahwa kata takwil ini berasal dari kata اَلأَوْلُ yang berarti اَلرُّجُوْعُ
(mengembalikan), yakni
mengembalikan kepada asalnya, dalam artian mengembalikan sesuatu kepada tujuan
yang dimaksud, baik dalam hal pengetahuan berupa konsep ataupun berupa aksi
(perbuatan).
Sedangkan yang dikamaksud dengan ta’wil secara istilah ialah :
1.
Menurut
Ulama Salaf : “Menafsirkan dan mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang
bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan. Hakekat yang sebenarnya yang
dikehendaki suatu ungkapan.”
2.
Menurut
Khalaf : “Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih kepada makna
yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.”
3.
Pengertian
takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh
(ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh
lafazh itu.
Jadi takwil
adalah pengertian-pengertian yang samar / yang tersirat yang di-istinmbath-kan
(diproses) dari ayat-ayat al-qur’an, yang memerlukan renungan dan pemikiran dan
merupakan prosesing membuka tabir atau makna yang terkandung didalamnya. Ayat
yang mempunyai kemungkinan beberapa pengertian
dinyatakan oleh mufassir mana yang lebih kuat dan pantas berdasarkan
pandangan dan istidlal (lagkah pengambilan dalil).
Para
Ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara tafsir,
ta’wil dan terjemah. Berdasarkan penjelasan pengertian tafsir di atas, maka
pada makalah ini setidaknya dapat disimpulkan perbedaan tersebut. Yaitu:
Tafsir
adalah pengertian dari ayat Al- Qur’an yang pengertiannya secara tegas
menyatakan maksud yang dikehendaki Allah Azza Wajalla, atau makna- makna dari
ayat Al-Qur’an yang jelas dan dalalahnya, sesuai yang di kehendaki Allah.
Sedangkan ta’wil menurut bahasa adalah mengembalikan arti lafal kepada salah
satu dari beberapa artinya yang bermacam-macam, atau menerangkan arti ma'na
yang sesuai dengan lafal dari beberapa arti kandungannya. Menurut istilah ada dua pendapat yaitu:
Ta’wil arti luas: sama dengan tafsir, yaitu meliputi keterangan arti ayat,
penjelasan maksud kandungannya, dan pengistinbatan hukum-hukum serta uraian
kaidanya.
Ta’wil arti
sempit: pengertiannya hanya khusus menentukan salah satu arti dari beberapa
arti yang dimiliki lafal ayat, dari arti yang kuat ke arti yang kurang kuat,
karena adanya alasan yang mendorongnya.
TAFSIR SURAT AN-NISA’ AYAT 29
A.
AYAT
AN-NISA’ 29
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4
wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ `tBur
ö@yèøÿt
y7Ï9ºs
$ZRºurôãã
$VJù=àßur
t$öq|¡sù
ÏmÎ=óÁçR
#Y$tR
4
tb%2ur
Ï9ºs
n?tã
«!$#
#·Å¡o
ÇÌÉÈ
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu[1];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
30. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan
aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
B.
ARTI
MUFRODAT.
1.
ﻻَﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ﺍَﻤْﻮَﺍﻠَﻜُﻢْ “Jangan kamu memakan harta-harta kamu.”
Yang dimaksud ‘makan’ di sini adalah segala bentuk
tindakan, baik mengambil atau menguasai. Harta-harta kamu, meliputi seluruh
jenis harta, semuanya termasuk kecuali bila ada dalil syar’i yang menunjukkan
kebolehannya.
Kata amwalakum yang dimaksud adalah harta yang
beredar dalam masyarakat[2] Amwalakum (harta
kamu) adalah baik yang ditanganmu sendiri maupun yang ditangan orang lain. Lalu
harta kamu itu , dengan takdir dan karunia Allah SWT ada yang diserahkan
ketanganmu dan ada pula yang diserahkan ketangan kawanmu yang lain. Oleh karena
itu betapapun kayanya seseorang janganlah sekali-kali ia lupa bahwa pada
hakikatnya kekayaan itu adalah kepunyaan bersama juga.[3]
2.
ﺒِﺎ
ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ “Dengan cara
yang batil.”
Yaitu segala perkara yang diharamkan Allah SWT atau
tidak ada haknya. Bathil yakni pelanggaran terhadap ketentuan agama atau
persyaratan yang disepakati. Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda, “kaum
muslimin sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat yang mereka sepakati,
selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.
Ayat ini dengan tegas melarang orang memakan harta
orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan bathil. Memakan harta sendiri
dengan jalan bathil adalah membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan
harta orang lain dengan cara bathil ada berbagai caranya, seperti pendapat
Suddi, memakannya dengan jalan riba, judi, menipu, menganiaya. Termasuk juga
dalam jalan yang batal ini segala jual beli yang dilarang syara’.
3.
ﺘِﺠَﺎﺮَﺓﻋَﻦْ
ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢ
“Perniagaan/perdagangan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu”
Dengan jalan niaga ini beredarlah harta kamu,pindah
dari satu tangan ke tangan lain dalam garis yang teratur, dan pokok utamanya
adalah ridha, suka sama suka dalam garis yang halal.
4.
ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ
ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ “Dan janganlah kamu
membunuh diri kamu sendiri”
Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan
Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan
harta orang lain secara batil. Di antara harta dan jiwa itu tidaklah bercerai
berai. Orang mencari harta untuk melanjutkan hidup, maka selain kemakmuran
harta benda hendaklah pula terdapat kemakmuran jiwa.
Imam Ahmad mengatakan , telah menceritakan kepada kami
Hasan Ibnu Musa , telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah , telah
menceritakan kepada kami Yazid Ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas , dari
Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amribnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika
Nabi Saw. mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat
dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani . Ia merasa khawatir bila mandi
jinabah , nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh
bersama teman - temannya .
Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami
kembali kepada Rasulullah SAW . , maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya.
Beliau bersabda, ' Hai Amr , apakah kamu salat dengan teman - temanmu ,
sedangkan kamu mempunyai jinabah ? ' . Aku (Amr) menjawab , ' Wahai Rasulullah
Saw., sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang
sangat dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku
teringat kepada firman Allah Swt. yang mengatakan:
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian”. (An-Nisa: 29)
karena itu, lalu aku bertayamum dan salat.' Maka
Rasulullah SAW tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun
C.
TAFSIRAN
Dari ayat diatas Alloh
melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian mereka terhadap
sebagian lainnya yang bathil ,yaitu dengan berbagai macam cara yang tidak
syar’i seperti riba, judi dan berbagai hal serupa yang penuh tipu daya ,
sekalipun pada lahiriyahnya cara-cara tersebut berdasarkan keumuman hokum
syar’I, tetapi diketahui oleh Alloh dengan jelas bahwa pelakunya hendak
melakukan tipu muslihat terhadap riba.Sehingga Ibnu jarir berkata :
“diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang yang membeli baju dari orang lain
dengan mengatakan jika anda senang , anda dapat mengambilnya , dan jika tidak,
anda dapat mengembalikannya dan tambahkan satu dirham “ itulah yang
difirmankan oleh Alloh:
“janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.”
Ali bin abi Thalhah
mengatakan dari Ibnu Abbas , ia berkata :” Ketika menurunkan ayat : ‘Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil’, kaum muslimin berkata : ‘Sesungguhnya Alloh telah melarang
kita untuk memakan harta diantara kita dengan bathil.Sedangkan makanan adalah
harta kita yang paling utama , untuk itu
tidak
halal bagi kita makan di temapat orang lain
[1] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga
larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri
sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
[2] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 412
[3]
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),
cet. 3, h. 35