Senin, 30 Desember 2013

makalah tafsir ahkam

Prodi               : IQT                                                   M.Kuliah         : Tafsir III

A.    PENGERTIAN TAFSIR

“Tidakkah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan (sesuatu) yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Menurut Abu Hayyan, tafsir secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode pengucapan lafadz-lafadz al Qur`an, petunjuk- petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.

Menurut Az-Zarkasyy  “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya."
Dalam kitab Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, dan menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah- hikmahnya, menguraikan dari segi bahasa, nahwu, shorof, ilmu bayan, ushul fiqh dan imu qiraat, untuk mengetahui sebab- sebab turunya ayat dan nasikh mansukh.
Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang memepelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW, berikut penjelasan maknanya, pengambilan hukum serta hikmah- hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang memebahas al-Qur’anul Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
B.     PENGERTIAN TA’WIL
Sedangkan pengerian ta’wil adalah sebagi berikut :
1.      Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali keasal.
2.      Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqoni adalah sama dengan tafsir. Namun menurut Al-Jurzzani Memalingkan suatu lafazh dari makna d’zamirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternative yang dipandang sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
3.      Secara etimologi, kata takwil berasal dari kata dasar أَوَّلَ يُؤَوِّلُ - تَأْوِيْلٌ yang berarti رَجَعَ, yakni kembali. Al-Jurjaniy dalam kamusnya al-Ta`rifât, menyebutkan bahwa takwil pada asalnya bermakna اَلتَّرْجِيْعُ (mengembalikan). Sedangkan al-Asfahaniy menambah keterangan bahwa kata takwil ini berasal dari kata اَلأَوْلُ yang berarti اَلرُّجُوْعُ (mengembalikan), yakni mengembalikan kepada asalnya, dalam artian mengembalikan sesuatu kepada tujuan yang dimaksud, baik dalam hal pengetahuan berupa konsep ataupun berupa aksi (perbuatan).
Sedangkan yang dikamaksud dengan ta’wil secara istilah ialah :
1.      Menurut Ulama Salaf : “Menafsirkan dan mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan. Hakekat yang sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.”
2.      Menurut Khalaf : “Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.”
3.      Pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
Jadi takwil adalah pengertian-pengertian yang samar / yang tersirat yang di-istinmbath-kan (diproses) dari ayat-ayat al-qur’an, yang memerlukan renungan dan pemikiran dan merupakan prosesing membuka tabir atau makna yang terkandung didalamnya. Ayat yang mempunyai kemungkinan beberapa pengertian  dinyatakan oleh mufassir mana yang lebih kuat dan pantas berdasarkan pandangan dan istidlal (lagkah pengambilan dalil).

 Tafsir adalah pengertian dari ayat Al- Qur’an yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah Azza Wajalla, atau makna- makna dari ayat Al-Qur’an yang jelas dan dalalahnya, sesuai yang di kehendaki Allah. Sedangkan ta’wil menurut bahasa adalah mengembalikan arti lafal kepada salah satu dari beberapa artinya yang bermacam-macam, atau menerangkan arti ma'na yang sesuai dengan lafal dari beberapa arti kandungannya. Menurut istilah ada dua pendapat yaitu:
Ta’wil arti luas: sama dengan tafsir, yaitu meliputi keterangan arti ayat, penjelasan maksud kandungannya, dan pengistinbatan hukum-hukum serta uraian kaidanya.
Ta’wil arti sempit: pengertiannya hanya khusus menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafal ayat, dari arti yang kuat ke arti yang kurang kuat, karena adanya alasan yang mendorongnya.









TAFSIR SURAT AN-NISA’ AYAT 29
A.    AYAT AN-NISA’ 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ   `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmŠÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%Ÿ2ur šÏ9ºsŒ n?tã «!$# #·ŽÅ¡o ÇÌÉÈ  
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[1]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
30. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
B.     ARTI MUFRODAT.
1.       َﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ََْﺍﻠَُْ  “Jangan kamu memakan harta-harta kamu.”
Yang dimaksud ‘makan’ di sini adalah segala bentuk tindakan, baik mengambil atau menguasai. Harta-harta kamu, meliputi seluruh jenis harta, semuanya termasuk kecuali bila ada dalil syar’i yang menunjukkan kebolehannya.
Kata amwalakum yang dimaksud adalah harta yang beredar dalam masyarakat[2] Amwalakum (harta kamu) adalah baik yang ditanganmu sendiri maupun yang ditangan orang lain. Lalu harta kamu itu , dengan takdir dan karunia Allah SWT ada yang diserahkan ketanganmu dan ada pula yang diserahkan ketangan kawanmu yang lain. Oleh karena itu betapapun kayanya seseorang janganlah sekali-kali ia lupa bahwa pada hakikatnya kekayaan itu adalah kepunyaan bersama juga.[3]
2.       ﺒِﺎ ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ  “Dengan cara yang batil.”
Yaitu segala perkara yang diharamkan Allah SWT atau tidak ada haknya. Bathil yakni pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati. Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda, “kaum muslimin sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat yang mereka sepakati, selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.
Ayat ini dengan tegas melarang orang memakan harta orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan bathil. Memakan harta sendiri dengan jalan bathil adalah membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan harta orang lain dengan cara bathil ada berbagai caranya, seperti pendapat Suddi, memakannya dengan jalan riba, judi, menipu, menganiaya. Termasuk juga dalam jalan yang batal ini segala jual beli yang dilarang syara’.
3.       ﺘِﺠَﺎﺮَﺓﻋَﻦْ ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢ  
“Perniagaan/perdagangan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu”
Dengan jalan niaga ini beredarlah harta kamu,pindah dari satu tangan ke tangan lain dalam garis yang teratur, dan pokok utamanya adalah ridha, suka sama suka dalam garis yang halal.
4.       ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ  “Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri”
Yakni dengan  mengerjakan hal-hal yang diharamkan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara batil. Di antara harta dan jiwa itu tidaklah bercerai berai. Orang mencari harta untuk melanjutkan hidup, maka selain kemakmuran harta benda hendaklah pula terdapat kemakmuran jiwa.
Imam Ahmad mengatakan , telah menceritakan kepada kami Hasan Ibnu Musa , telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah , telah menceritakan kepada kami Yazid Ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas , dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amribnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw. mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani . Ia merasa khawatir bila mandi jinabah , nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh bersama teman - temannya .
Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami kembali kepada Rasulullah SAW . , maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau bersabda, ' Hai Amr , apakah kamu salat dengan teman - temanmu , sedangkan kamu mempunyai jinabah ? ' . Aku (Amr) menjawab , ' Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku teringat kepada firman Allah Swt. yang mengatakan:
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian”. (An-Nisa: 29)
karena itu, lalu aku bertayamum dan salat.' Maka Rasulullah SAW tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun
C.     TAFSIRAN
Dari ayat diatas Alloh melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian mereka terhadap sebagian lainnya yang bathil ,yaitu dengan berbagai macam cara yang tidak syar’i seperti riba, judi dan berbagai hal serupa yang penuh tipu daya , sekalipun pada lahiriyahnya cara-cara tersebut berdasarkan keumuman hokum syar’I, tetapi diketahui oleh Alloh dengan jelas bahwa pelakunya hendak  melakukan tipu muslihat terhadap riba.Sehingga Ibnu jarir berkata : “diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang yang membeli baju dari orang lain dengan mengatakan jika anda senang , anda dapat mengambilnya , dan jika tidak, anda dapat mengembalikannya  dan tambahkan satu dirham “ itulah yang difirmankan oleh Alloh:
“janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.”
Ali bin abi Thalhah mengatakan dari Ibnu Abbas , ia berkata :” Ketika menurunkan ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil’, kaum muslimin berkata : ‘Sesungguhnya Alloh telah melarang kita untuk memakan harta diantara kita dengan bathil.Sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama , untuk itu
tidak halal  bagi kita makan di temapat orang lain








[1] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 412
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),  cet. 3, h. 35