Senin, 30 Desember 2013

makalah kitab tafsir at-thabari

TAFSIR IBNU JARIR AT-THABARI
(Oleh: Muhammad Muadib)

A.    Pendahuluan
Padadasarnyakeilmuan-keilmuan yang adamengalamimasa-masakejayaan, kelemahan.Al-Qur’an sebagaikitabsucisekaliguskitabpeganganuntukmenjalaninhidupbaik di alamduniadannantinya di alamakhirat, banyakilmuan yang mencobauntukmentafsirkankitabsuci Al-Qur’an ini.Bahkanbukanhanyaumat Muslim itusendiri yang mencobamengkajidanmentafsirkan Al-Qur’an dengansegalakemungkinandanbatas-batassertalatarbelakangdankemampuan yang sesuaidenganilmuantersebut.
Banyaksekaliilmuan-ilmuanbesertakarya-karyabesarnya yang termasyhurdalambidang yang mengkaji Al-Qur’an ini. Yang dimulaidaripadamasasahabatsetelahwafatnyaNabi Muhammad saw. SampaipadasaatKontemporersaatini, tentunyadengankajian-kajiandanmetode-metode yang berbedaantarasatuilmuandenganilmuan yang lainnya.
DalammakalahiniakanmembahastentangkajiantafsirklasikTafsirIbnu Jarir at-Thabari.












B.     Pembahasan

A.    RiwayatHidupIbnu Jarir at-Thabari
Ragam informasi dari berbagai sumber tertulis menyebutkan, beliau mempunyai nama lengkap Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli. Nama ini disepakati oleh al-Kharib al-Baghdadi, Ibnu Katsir dan al-Zahabi. Tanah kelahirannya di kota Amul, Ibukota Thabristan, Iran, sehingga nama belakangnnya sering disebutkan al-Muli yaitu karena penisbathan tanah kelahirannya. Ia dilahirkan pada Tahun 223 H (838 – 839 M), pada sumber lainnya menyebutkan akhir 224 H atau awal 225 H (839 – 840 m), dan ia meninggal pada tahun 311 H / 923 M, sementara dari sumber informasi lain disebutkan pada 310 H.
Al-Thabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan, terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al-Thabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu. Aktivitas menghafal al-Qur’an dimulainya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tinggi dalam menuntut ilmu dan semangat (girah) untuk melakukan ibadah. Dibuktikannya dengan melakukan safari ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.[1]
Beliau pernah berpergian ke daerah Ray, berguru kepada Muhammad bin Hamid al-Razi dan ulama hadits yang terkenal lainnya. Kemudian beliau pindah ke Basrah dan berguru kepada Muhammad bin Mu’alla dan Muhammad bin Basyar yang lebih dikenal dengan sebutan Bandar. Kemudian beliau pergi ke Kuffah berguru kepada Hana’a bin al-Syary, Abu Kerib Muhammad bin ‘ala al-Hamdani. Perjalanan beliau di negeri Irak berakhir di Baghdad. Beliau telah banyak mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan memiliki wawasan yang sangat luas. Dari Baghdad beliau pergi ke Negeri Syam, beliau belajar Qiraat Syam dengan al-Abbas bin al-Wahid al-Bairuni.[2]
Perjalanan beliau berakhir di Mesir, di negeri ini beliau berguru dengan ulama-ulama yang termasyhur seperti Muhammad bin Abdullah al-Hakam, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah dan kepada murid-murid Ibnu Wahab. Kemudian perjalanan beliau kembali di lanjutkan menuju Thabrasan yang kemudian beliau mengajar di Baghdad samapai meninggal dunia pada hari ahad akhir bulan Syawal dua hari sebelum bulan Zulqa’idah pada tahun 310 H, yang akhirnya beliau dimakamkan dalam rumahnya sendiri.
B.     Karir-Karir Intelektualnya
Al-Thabari secara kultural-akademika termasuk salah seorang yang beruntung, jika dilihat dari setting sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada abad III hingga awal abad IV H. Dalam masa-masa ini sangat berpengaruh secara mmental maupun intelektual terhadap perkembangan keilmuannya. Al-Thabari di usianya yang ketujuh telah mampu menghafalkan Al-Quran, sehingga memperoleh kepercayaan untuk menjadi imam shalat pada usia 8 tahun. Hasil dari gemblengan dari orang tuanya ( terutama ayahnya ) meninggalkan goresan intelektual yang kuat.
Karir pendidikannya diawali dari kampung halamnnya Ammul, tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Thabari. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirm ke Ray, Basrah, Kuffah, Mesir, Syiria dalam rangka “ trafeling in quest of knowledge” dalam usia yang masih muda. Namanya bertambah populer di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.[3]di rayy beliau berguru pada Ibn Humayd, Abu Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razidia juga menimba ilmu dari al-Musanna bin Ibrahim al-ibili, khusus di bidang hadis. Ia pernah juga pergi ke Bagdad untuk bel;ajar kepada Agmad bin Hambal (164-241/778-855), sesampainya di sana ternyata ia telah wafat. Lalu ia pergi ke Basrah, Kuffah. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd Al-Alla AL-San’nai (w. 245/859 ) Muhammad bin Musa Abu al-As’as Ahmad dan Abu Al-Jawza ahmad. Khusus di bidang tafsir ia berguru kepada BAsrah Humayd bin Mas’adah.[4]
            Setelah itu beliau kembali ke Bagdad untuk menetap dalam jangka waktu lama. Ia masih memusatkan perhatian pada qira,’ah dan fiqh. Sejumlah karya telah ia ciptakan ahkirnya ia wafat pada tahun 310, yaitu senin, dalam usia 85thn.
C.    Karya-Karyanya
 Beliau Banyak Mengarang kitab diantaranya, kitab tafsir,alkitab al-tarigqh, kitab tadzab al-atsartafsil al-tsabiut’an Rasullullah[5].diantar kitabnya:
1.      Bidang Hukum
a.       Adab dan manasik
b.      Ikhtilaf
c.       Al-adhar fi al-ushul
d.      Basit.dll
2.      Bidang qur’an
a.       Faslbayan fi Al-Qiraaat.
b.      Jami’ al-bayan fi tafsirir alquraan.
c.       Kitab al-qiraat.
3.      Hadis
a.       Ibarah al-Ru’ya
b.      .tahzib
c.       Fada’il
d.      Al-musnad al-mujarrad
4.      Teologi
a.       Dalailah
b.      Fada’il ali Ibn abi Thalib
c.       Sarih al-basyir. Dll
5.      Etika Keagamaan
a.       Abad AL-Nuffus al-jayyidah, wa’al akhlak al-NAfssiyah.
b.      Fada’il al-Mujjaz
c.       Adab al-tanzil
Beberapa masuk
6.      Sejarah..
a)      zaitu zayl al-Muzayyil.
b)      Tarikh al-Umam
c)      Tahzib al-Azar
Betapapun jumlah karya yang ada dengan kondisi yang berbeda-beda. Bersamaan lenyapnya fiqh mazhab jarriyahyang pernah di bangunnya.[6]

D.    Tafsir Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an
1.      Sejarah penulisan
Semasa hidup al-Tabari, akhir abad (hingga pertengahan abad 10 M.kaum muslimin dihadapakan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan dan heterogenitas kebudayaan dan peradapan.
Dibidang keilmuan, tafsir telah menjadi ilmu keislaman tersendiri. Tafsir juga telah mengalami perkembangan secara metedologis dan subtanstional. Kemunculan aliran tafsir al-bil ma’sur dan al-ra’yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di samping inin orientasi kajian tafsir yang tidakmono material  tetaapi telah berinteraksi dengan ilmu-ilmu sepertifiqh, kalam , balagah, sejarah dan filsafat.
Pada akhir npergulatan pemikirannya ia lebih dikenal luias sebagaio seorang sunni daripada raffidi yang exstime, ketika memuncaknya aliran-alioran teologio, kitab ini di tulis pada abad 2 H. Dan sempat di sosisalisasikan dihadapan murid-murid selama +_ 8 tahun, sekitar 282-290 H. Pada awalnya kitab inipernah hilang, ternyata tafsir ini muncul kembali  yang berupa maksripm yang tersimpan di maktabah.,
2.      Karakteristik penafsiran.
Untuk melihat seberapa jaub karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, corak penafsiran, akurasi dan sumber penafsirannya, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecendrungan terhadap Mazhab yang diikuti dan objektivitas penafsirannya.[7]
Dari sisi linguistik (lughah), Ibnu Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa arab sebagai pegangan dengan berhimpun pada syair-syair arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap Aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat.semetara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabiin, dan tabi’ah al-tabiin melalui hadits yang mereka riwayatkan (bil matsyur). Semua itu diharapkan menjadi detektor bagi ke detepatan pemahamannya mengenai suatau kata atau kalimat. Ia juga menempuh jalan istimbat ketika menghadapi sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang sama i’rabnya.[8]
Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adlah pemaparan Qira’ah secara variatif, dan di analisis dengan cara dihubungkan dengan makna yang berbeda-beda, kemudian menjatuhkan pilihan pada suatau Qira’ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat.
Disisi lain, al-Thabari sebagai seorang ilmuan , tidak terjebak dalam belenggu taklid, terutama dalam mendiskusikan persoalan, persoalan fiqh. Ia selalu berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam / kandungan Al-Qur’an tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara tidak langsung ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat ditengah-tengah masyarakat di mana ia berada dan tentu saja bagi generasi berikutnya.
3.      Metode Penafsiran
Tafsir al-Thabari, dikenal sebagai tafsir bi al-matsyuryang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat otoritas-otoritas awal. Tetapi ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatnnya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta’dildan tarjih  tentang hadits-hadits itu sendiri. Tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk menetukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafaz, ia juga menggunakan ra’yu. Dalam kaitannya ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan adalah membeberkan makna kata-kata dalam terminologi bahasa arab disertai struktur linguistiknya, dan i’rab. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadits ia melakukan pemaknaan terhadapkalimat dan ia dikutkan dengan uarian  bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai alat penyeledik bagi ketepatan pemahamannya.
Langkah metodologis tafsir al-thabari dapat disederhanakan sebagai berikut :
a.       Menempuh jalan tafsir dan takwil
b.      Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (muhasabah) sebagai aplikasi norma tematis.
c.       Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah / al-Hadits (bi al matsyur).
d.      Bersandar pada analisis bahasa (lughah) bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan..
e.       Mengeksplorasi syair dan menggali prosa arab lama ketika menjelaskan makna kosa kata dan kalimat.
f.       Memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk diatashih dan ditarjih
g.      Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengugkap makna ayat (al-kasyaf)
h.      Membeberkan perdebtan di bidang fiqh dan teori hukuman islam (ushul fiqh) untuk kepentingan analisis dan istimbat hukum.
i.        Mencermati korelasi (muhasabah) ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang relatif kecil.
j.        Melakukan sinkronisasi, antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan dalam rangka untuk menangkap makna secara utuh.
k.      Melkukan kompromi ( al-jam’u ) antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif (taarud) dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.
4.      Contoh Penafsirannya
ketiks mentafsirkan QS. Al-Maidah ayat 89 :
ŸwãNä.äÏ{#xsリ!$#Èqøó¯=9$$Î/þÎûöNä3ÏZ»yJ÷ƒr&`Å3»s9urNà2äÏ{#xsãƒ$yJÎ/ãN?¤)tãz`»yJ÷ƒF{$#(ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sùãP$yèôÛÎ)ÍouŽ|³tãtûüÅ3»|¡tBô`ÏBÅÝy÷rr&$tBtbqßJÏèôÜè?öNä3ŠÎ=÷dr&÷rr&óOßgè?uqó¡Ï.÷rr&㍃̍øtrB7pt6s%u(
Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.”
Dari ayat diatas yang dicermati al-Thabari adalah kalimat öNä3ŠÎ=÷dr&ôtbqßJÏèôÜè? $tBÅÝy÷rr& `ÏB potongan ayat ini telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat Nabi saw. Secara berbeda. Ibnu Abbas, misalnya menafsirkan ayat ini yaitu maksudnya jenis makanan yang dikomsumsi sehari-hari oleh keluarga secara moderat tidak mahal dan tidak murah, tidak sulit dan tidak pula terlalu mudah. Sementara sa’id bin Jubair dan ‘Ikrimah menafsirkan, yaitu jenis makanan yang sederhana dikomsumsi keluarga, sahabat ‘Atha’ menafsirkan; semisal apa yang dikomsumsi oleh keluargamu.
Dari pentafsiran para mufassirin diatas, setelah ditopang oleh sejumlah referensi yang cukup akurat, kemudian al-Thabari menyatakan secara tegas, bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut diatas adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak sedikit dan tidak pula banyak. Dari sinilah kemudian muncul wacana di kalangan ulma tentang standar bahan makanan yang harus dibayrkan oleh si pembayar kifarat (denda).
5.      Komentar Para Ulama
Para ulama sangat banyak mebicarakan tentang beliau, baik dari kepribadian maupun kehidupan beliau yang ditinjau dari berbagai sisi dan sudut pandang. Al-Khatib memberikan komentar; “Ibnu Jarir al-Thabari adalah salah satu imam dan pemimpin umat, perkataannya dapat dijadikan hukum dan pendapatnya dapat dijadikan rujukan.[9]
Abu al-Abbas bin Juraij berkata; “Muhammad bin Jarir adalah seorang faqih yang alim”[10]
Abu Hamid al-Isfarayini (w. 101 H) menyatakan :
“semua informasi yang diberikan al-Thabari diperoleh secara berantai dari para periwayat. Mata rantai ini di pelajar oleh Dr. H. Horst yang menghitung ada 13.026 mata rantai yang berbeda dalam tiga jilid tafsir al-Thabari. Duapuluh satu dari 13.026 ini termasuk didalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk informasi, “hadits-hadits yang menjadi jaminan bagi kebenaran atas berbagai mata rantai peristiwa.”
Muhammad Abduh, sebagai berikut :
“kitab yang terpercaya dikalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taklid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan.....”



















C.    Kesimpulan

Dari pemaparan makalah kami diatas dapat kami beri kesimpulan sebagai berikut :
Dilihat dari situasi dan kondisinya saat itu, al-Thabari terlahir sebagai salah seorang yang beruntung karena berada dalam keluarga yang mapan dan dekat dengan Allah, begitupun suasana Islam yang saat itu sedang mengalami kemajuan dalam bidang keilmuan.
Beberapa negara yang pernah di lalui dalam torehan pengembaraannya adalah Ray, Basrah, Kuffah, Mesir, Syiria. Dalam pengembaraannya ini dan di negara-negara inilah beliau mencari dan mendapatkan guru-guru yang mengajarinya.
Menurut penulis, al-Thabari merupakan tokoh penting dalam perkembangan ilmu bidang Tafsir karena banyak para ilmu khususnya mufassirin yang terobsesi dengan karya-karya dan cara berpikirnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Ilyas MA, Hamim. 2004.Pengantar Study Kitab Tafsir. Cet. Ke 1, Yogyakarta; Teras
Mahmud, Mani’ Abd Halim. 2006.Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir, cet. 1. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.
Al Qattahan ,Manna, mebahis fi Ulumul qura’an, (T tp. Mansurat alshr al- hadits, 1393/1973,
Sihab , M. Qurais, Ibnu Jarir At thabari. Guru besar para ahli tafsir” dalam jurnal ulumul Quran vol 1,no 1. 1989






















 


TAFSIR IBNU JARIR AT-THABARI
(makalahinidibuatuntukmemenuhitugasmatakuliahMEMBAHAS KITAB TAFSIR)
 



Disusunoleh :
Muhammad Muadib
Nim :2113428212

DosenPembimbing :
Dr. Aibdi Rahmad, M.Ag



FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN USHULUDDIN / ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
TA 2013



[1]Dr. Hamim Ilyas MA, Pengantar Study Kitab Tafsir. Cet. Ke 1 2004, h ; 20 - 21
[2]Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir, cet. 1, 2006, h; 68 – 69.
[3]Masih banyak nama-nama guru, seperti Ismail bin Musa al-Farizi (w.245/859) di bidang qireah belajar kepada Sulaiman bin Abdl Arrahman bin Hammad At-Thalhi (w.252/866), abu Kurayb Muhammad binal-Alla, seorang kuffah(w.247/862), dan bidang lainnya. Itu karena al-Tabari disam,ping menekuni hadis, fiqh, tafsir, juga qiraah dan sejarah.
[4]Bakar Ismail, Ibnu jari,,,,hlm 25
[5]Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud. Op Cit. Hlm.69
[6]Dr. Hamim Ilyas MA. Op Cit. Hlm.26
[7]Al Qattahan ,Manna, mebahis fi Ulumul qura’an, (T tp. Mansurat alshr al- hadits, 1393/1973,
Hlm 363
[8]M. Qurai Sihab, “Ibnu Jarir At thabari. Guru besar para ahli tafsir” dalam jurnal ulumul Quran vol 1,no 1. 1989. Hlm. 5
[9][9]Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir, cet. 1, 2006, h; 69
[10][10]Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, op cit, h;