TAFSIR IBNU JARIR
AT-THABARI
(Oleh: Muhammad Muadib)
A.
Pendahuluan
Padadasarnyakeilmuan-keilmuan yang
adamengalamimasa-masakejayaan, kelemahan.Al-Qur’an
sebagaikitabsucisekaliguskitabpeganganuntukmenjalaninhidupbaik di
alamduniadannantinya di alamakhirat, banyakilmuan yang
mencobauntukmentafsirkankitabsuci Al-Qur’an ini.Bahkanbukanhanyaumat Muslim
itusendiri yang mencobamengkajidanmentafsirkan Al-Qur’an
dengansegalakemungkinandanbatas-batassertalatarbelakangdankemampuan yang
sesuaidenganilmuantersebut.
Banyaksekaliilmuan-ilmuanbesertakarya-karyabesarnya
yang termasyhurdalambidang yang mengkaji Al-Qur’an ini. Yang
dimulaidaripadamasasahabatsetelahwafatnyaNabi Muhammad saw.
SampaipadasaatKontemporersaatini, tentunyadengankajian-kajiandanmetode-metode
yang berbedaantarasatuilmuandenganilmuan yang lainnya.
DalammakalahiniakanmembahastentangkajiantafsirklasikTafsirIbnu Jarir at-Thabari.
B. Pembahasan
A.
RiwayatHidupIbnu Jarir at-Thabari
Ragam informasi dari
berbagai sumber tertulis menyebutkan, beliau mempunyai nama lengkap Abu Ja’far
Muhammad Ibnu Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli. Nama ini
disepakati oleh al-Kharib al-Baghdadi, Ibnu Katsir dan al-Zahabi. Tanah
kelahirannya di kota Amul, Ibukota Thabristan, Iran, sehingga nama belakangnnya
sering disebutkan al-Muli yaitu karena penisbathan tanah kelahirannya. Ia
dilahirkan pada Tahun 223 H (838 – 839 M), pada sumber lainnya menyebutkan
akhir 224 H atau awal 225 H (839 – 840 m), dan ia meninggal pada tahun 311 H /
923 M, sementara dari sumber informasi lain disebutkan pada 310 H.
Al-Thabari hidup, tumbuh
dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap
masalah pendidikan, terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam
yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi
sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk
kepribadian al-Thabari dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu. Aktivitas
menghafal al-Qur’an dimulainya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tinggi dalam
menuntut ilmu dan semangat (
girah) untuk melakukan ibadah. Dibuktikannya
dengan melakukan safari ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam
berbagai disiplin ilmu.
Beliau pernah berpergian
ke daerah
Ray, berguru kepada Muhammad bin Hamid al-Razi dan ulama
hadits yang terkenal lainnya. Kemudian beliau pindah ke Basrah dan berguru
kepada Muhammad bin Mu’alla dan Muhammad bin Basyar yang lebih dikenal dengan
sebutan Bandar. Kemudian beliau pergi ke Kuffah berguru kepada Hana’a bin
al-Syary, Abu Kerib Muhammad bin ‘ala al-Hamdani. Perjalanan beliau di negeri
Irak berakhir di Baghdad. Beliau telah banyak mempelajari bermacam-macam ilmu
pengetahuan dan memiliki wawasan yang sangat luas. Dari Baghdad beliau pergi ke
Negeri Syam, beliau belajar Qiraat Syam dengan al-Abbas bin al-Wahid
al-Bairuni.
Perjalanan beliau berakhir
di Mesir, di negeri ini beliau berguru dengan ulama-ulama yang termasyhur
seperti Muhammad bin Abdullah al-Hakam, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah dan
kepada murid-murid Ibnu Wahab. Kemudian perjalanan beliau kembali di lanjutkan
menuju Thabrasan yang kemudian beliau mengajar di Baghdad samapai meninggal
dunia pada hari ahad akhir bulan Syawal dua hari sebelum bulan Zulqa’idah pada
tahun 310 H, yang akhirnya beliau dimakamkan dalam rumahnya sendiri.
B. Karir-Karir Intelektualnya
Al-Thabari secara
kultural-akademika termasuk salah seorang yang beruntung, jika dilihat dari setting
sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya
pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada abad III hingga awal abad IV H. Dalam
masa-masa ini sangat berpengaruh secara mmental maupun intelektual terhadap
perkembangan keilmuannya. Al-Thabari di usianya yang ketujuh telah mampu
menghafalkan Al-Quran, sehingga memperoleh kepercayaan untuk menjadi imam
shalat pada usia 8 tahun. Hasil dari gemblengan dari orang tuanya ( terutama
ayahnya ) meninggalkan goresan intelektual yang kuat.
Karir pendidikannya
diawali dari kampung halamnnya Ammul, tempat yang cukup kondusif untuk
membangun struktur fundamental awal pendidikan al-Thabari. Ia diasuh oleh
ayahnya sendiri, kemudian dikirm ke
Ray,
Basrah, Kuffah, Mesir,
Syiria dalam rangka “
trafeling in quest of knowledge” dalam usia
yang masih muda. Namanya bertambah populer di kalangan masyarakat karena
otoritas keilmuannya.
di
rayy beliau berguru pada Ibn Humayd, Abu Abdillah Muhammad bin Humayd
al-Razidia juga menimba ilmu dari al-Musanna bin Ibrahim al-ibili, khusus di
bidang hadis. Ia pernah juga pergi ke Bagdad untuk bel;ajar kepada Agmad bin Hambal
(164-241/778-855), sesampainya di sana ternyata ia telah wafat. Lalu ia pergi
ke Basrah, Kuffah. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd Al-Alla
AL-San’nai (w. 245/859 ) Muhammad bin Musa Abu al-As’as Ahmad dan Abu Al-Jawza
ahmad. Khusus di bidang tafsir ia berguru kepada BAsrah Humayd bin Mas’adah.
Setelah
itu beliau kembali ke Bagdad untuk menetap dalam jangka waktu lama. Ia masih
memusatkan perhatian pada qira,’ah dan fiqh. Sejumlah karya telah ia ciptakan
ahkirnya ia wafat pada tahun 310, yaitu senin, dalam usia 85thn.
C. Karya-Karyanya
Beliau Banyak Mengarang kitab diantaranya,
kitab tafsir,alkitab al-tarigqh, kitab tadzab al-atsartafsil al-tsabiut’an
Rasullullah
.diantar kitabnya:
1. Bidang Hukum
a. Adab dan manasik
b. Ikhtilaf
c. Al-adhar fi al-ushul
d. Basit.dll
2. Bidang qur’an
a. Faslbayan fi Al-Qiraaat.
b. Jami’ al-bayan fi tafsirir
alquraan.
c. Kitab al-qiraat.
3. Hadis
a. Ibarah al-Ru’ya
b. .tahzib
c. Fada’il
d. Al-musnad al-mujarrad
4. Teologi
a. Dalailah
b. Fada’il ali Ibn abi Thalib
c. Sarih al-basyir. Dll
5. Etika Keagamaan
a. Abad AL-Nuffus al-jayyidah,
wa’al akhlak al-NAfssiyah.
b. Fada’il al-Mujjaz
c. Adab al-tanzil
Beberapa
masuk
6. Sejarah..
a) zaitu zayl al-Muzayyil.
b) Tarikh al-Umam
c) Tahzib al-Azar
Betapapun jumlah
karya yang ada dengan kondisi yang berbeda-beda. Bersamaan lenyapnya fiqh
mazhab
jarriyahyang pernah di bangunnya.
D. Tafsir Jami’ Al-Bayan Fi
Tafsir Al-Qur’an
1. Sejarah penulisan
Semasa hidup al-Tabari, akhir abad (hingga pertengahan
abad 10 M.kaum muslimin dihadapakan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu
pengetahuan, pemikiran keagamaan dan heterogenitas kebudayaan dan peradapan.
Dibidang keilmuan, tafsir telah menjadi ilmu
keislaman tersendiri. Tafsir juga telah mengalami perkembangan secara
metedologis dan subtanstional. Kemunculan aliran tafsir al-bil ma’sur dan
al-ra’yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di samping inin
orientasi kajian tafsir yang tidakmono material tetaapi telah berinteraksi dengan ilmu-ilmu
sepertifiqh, kalam , balagah, sejarah dan filsafat.
Pada akhir npergulatan pemikirannya ia lebih
dikenal luias sebagaio seorang sunni daripada raffidi yang exstime, ketika
memuncaknya aliran-alioran teologio, kitab ini di tulis pada abad 2 H. Dan
sempat di sosisalisasikan dihadapan murid-murid selama +_ 8 tahun, sekitar
282-290 H. Pada awalnya kitab inipernah hilang, ternyata tafsir ini muncul
kembali yang berupa maksripm yang
tersimpan di maktabah.,
2. Karakteristik penafsiran.
Untuk melihat seberapa jaub karakteristik sebuah
tafsir, dapat dilihat, paling tidak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya
bahasa, corak penafsiran, akurasi dan sumber penafsirannya, konsistensi
metodologis, sistematika, daya kritis, kecendrungan terhadap Mazhab yang
diikuti dan objektivitas penafsirannya.
Dari sisi linguistik (
lughah), Ibnu Jarir
sangat memperhatikan penggunaan bahasa arab sebagai pegangan dengan berhimpun
pada syair-syair arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap
Aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (
nahwu), dan penggunaan bahasa arab
yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat.semetara itu, ia sangat
kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran yang disandarkan pada
pendapat dan pandangan para sahabat, tabiin, dan tabi’ah al-tabiin melalui
hadits yang mereka riwayatkan (
bil matsyur). Semua itu diharapkan
menjadi detektor bagi ke detepatan pemahamannya mengenai suatau kata atau
kalimat. Ia juga menempuh jalan istimbat ketika menghadapi sebagian kasus hukum
dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang sama i’rabnya.
Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut
adlah pemaparan Qira’ah secara variatif, dan di analisis dengan cara
dihubungkan dengan makna yang berbeda-beda, kemudian menjatuhkan pilihan pada
suatau Qira’ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat.
Disisi lain, al-Thabari sebagai seorang ilmuan ,
tidak terjebak dalam belenggu taklid, terutama dalam mendiskusikan
persoalan, persoalan fiqh. Ia selalu berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam /
kandungan Al-Qur’an tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan
paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara tidak langsung ia telah
berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat
ditengah-tengah masyarakat di mana ia berada dan tentu saja bagi generasi
berikutnya.
3. Metode Penafsiran
Tafsir al-Thabari, dikenal sebagai tafsir bi
al-matsyuryang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat
otoritas-otoritas awal. Tetapi ia biasanya tidak memeriksa rantai
periwayatnnya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta’dildan
tarjih tentang hadits-hadits itu
sendiri. Tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian,
untuk menetukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafaz, ia juga
menggunakan ra’yu. Dalam kaitannya ini, secara runtut yang pertama-tama
ia lakukan adalah membeberkan makna kata-kata dalam terminologi bahasa arab
disertai struktur linguistiknya, dan i’rab. Pada saat tidak menemukan
rujukan riwayat dari hadits ia melakukan pemaknaan terhadapkalimat dan ia
dikutkan dengan uarian bait syair dan
prosa kuno yang berfungsi sebagai alat penyeledik bagi ketepatan pemahamannya.
Langkah
metodologis tafsir al-thabari dapat disederhanakan sebagai berikut :
a. Menempuh jalan tafsir dan
takwil
b. Melakukan penafsiran ayat
dengan ayat (muhasabah) sebagai aplikasi norma tematis.
c. Menafsirkan al-Qur’an dengan
as-Sunnah / al-Hadits (bi al matsyur).
d. Bersandar pada analisis
bahasa (lughah) bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan..
e. Mengeksplorasi syair dan
menggali prosa arab lama ketika menjelaskan makna kosa kata dan kalimat.
f. Memperhatikan aspek i’rab
dengan proses pemikiran analogis untuk diatashih dan ditarjih
g. Pemaparan ragam qiraat dalam
rangka mengugkap makna ayat (al-kasyaf)
h. Membeberkan perdebtan di
bidang fiqh dan teori hukuman islam (ushul fiqh) untuk kepentingan analisis dan
istimbat hukum.
i.
Mencermati korelasi (muhasabah) ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam
kadar yang relatif kecil.
j.
Melakukan sinkronisasi, antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan dalam
rangka untuk menangkap makna secara utuh.
k. Melkukan kompromi ( al-jam’u
) antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif (taarud) dari
berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.
4. Contoh Penafsirannya
ketiks
mentafsirkan QS. Al-Maidah ayat 89 :
wãNä.äÏ{#xsãª!$#Èqøó¯=9$$Î/þÎûöNä3ÏZ»yJ÷r&`Å3»s9urNà2äÏ{#xsã$yJÎ/ãN?¤)tãz`»yJ÷F{$#(ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sùãP$yèôÛÎ)Íou|³tãtûüÅ3»|¡tBô`ÏBÅÝy÷rr&$tBtbqßJÏèôÜè?öNä3Î=÷dr&÷rr&óOßgè?uqó¡Ï.÷rr&ãÌøtrB7pt6s%u(
Artinya : “Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.”
Dari ayat diatas yang
dicermati al-Thabari adalah kalimat öNä3Î=÷dr&ôtbqßJÏèôÜè? $tBÅÝy÷rr& `ÏB potongan ayat ini telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat
Nabi saw. Secara berbeda. Ibnu Abbas, misalnya menafsirkan ayat ini yaitu
maksudnya jenis makanan yang dikomsumsi sehari-hari oleh keluarga secara
moderat tidak mahal dan tidak murah, tidak sulit dan tidak pula terlalu mudah.
Sementara sa’id bin Jubair dan ‘Ikrimah menafsirkan, yaitu jenis makanan yang
sederhana dikomsumsi keluarga, sahabat ‘Atha’ menafsirkan; semisal apa yang
dikomsumsi oleh keluargamu.
Dari pentafsiran para mufassirin diatas, setelah ditopang
oleh sejumlah referensi yang cukup akurat, kemudian al-Thabari menyatakan
secara tegas, bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut diatas adalah dalam hal
kuantitas, moderat tidak sedikit dan tidak pula banyak. Dari sinilah kemudian
muncul wacana di kalangan ulma tentang standar bahan makanan yang harus dibayrkan
oleh si pembayar kifarat (denda).
5. Komentar Para Ulama
Para ulama sangat banyak mebicarakan tentang
beliau, baik dari kepribadian maupun kehidupan beliau yang ditinjau dari
berbagai sisi dan sudut pandang. Al-Khatib memberikan komentar; “Ibnu Jarir al-Thabari
adalah salah satu imam dan pemimpin umat, perkataannya dapat dijadikan hukum
dan pendapatnya dapat dijadikan rujukan.
Abu al-Abbas bin Juraij berkata; “Muhammad bin
Jarir adalah seorang faqih yang alim”
Abu
Hamid al-Isfarayini (w. 101 H) menyatakan :
“semua
informasi yang diberikan al-Thabari diperoleh secara berantai dari para
periwayat. Mata rantai ini di pelajar oleh Dr. H. Horst yang menghitung ada
13.026 mata rantai yang berbeda dalam tiga jilid tafsir al-Thabari. Duapuluh
satu dari 13.026 ini termasuk didalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk
informasi, “hadits-hadits yang menjadi jaminan bagi kebenaran atas berbagai
mata rantai peristiwa.”
Muhammad
Abduh, sebagai berikut :
“kitab
yang terpercaya dikalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan
diri dari belenggu taklid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam
tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat
menimbulkan perpecahan.....”
C.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah kami diatas dapat kami beri
kesimpulan sebagai berikut :
Dilihat dari situasi dan
kondisinya saat itu, al-Thabari terlahir sebagai salah seorang yang beruntung
karena berada dalam keluarga yang mapan dan dekat dengan Allah, begitupun
suasana Islam yang saat itu sedang mengalami kemajuan dalam bidang keilmuan.
Beberapa negara yang
pernah di lalui dalam torehan pengembaraannya adalah Ray, Basrah,
Kuffah, Mesir, Syiria. Dalam pengembaraannya ini dan di negara-negara
inilah beliau mencari dan mendapatkan guru-guru yang mengajarinya.
Menurut penulis,
al-Thabari merupakan tokoh penting dalam perkembangan ilmu bidang Tafsir karena
banyak para ilmu khususnya mufassirin yang terobsesi dengan karya-karya dan
cara berpikirnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas MA, Hamim. 2004.Pengantar
Study Kitab Tafsir. Cet. Ke 1, Yogyakarta; Teras
Mahmud, Mani’ Abd Halim. 2006.Metodologi
Tafsir Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir, cet. 1. Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada.
Al Qattahan ,Manna, mebahis fi Ulumul qura’an, (T tp. Mansurat
alshr al- hadits, 1393/1973,
Sihab , M. Qurais, Ibnu Jarir At
thabari. Guru besar para ahli tafsir” dalam jurnal ulumul Quran vol 1,no 1.
1989
“TAFSIR IBNU JARIR
AT-THABARI”
(makalahinidibuatuntukmemenuhitugasmatakuliahMEMBAHAS
KITAB TAFSIR)
Muhammad
Muadib
Nim :2113428212
DosenPembimbing :
Dr. Aibdi Rahmad, M.Ag
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN USHULUDDIN / ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
TA 2013
Al Qattahan ,Manna, mebahis
fi Ulumul qura’an, (T tp. Mansurat alshr al- hadits, 1393/1973,